Jakarta (ANTARA News) - Kerusakan besar habitat akibat alih fungsi lahan gambut dan lahan basah telah mengancam kelestarian populasi burung air menurut buku "Konservasi Burung Air: Perjuangan Melawan Kepunahan" karya Prof Hadi S Alikodra.

"Intinya kerusakan masif terjadi. Gambut atau lahan basah yang menjadi rumah bagi burung-burung air diubah sedemikian rupa. Karenanya pejabat perlu menyuarakan gambaran burung air yang semakin terancam," kata Prof. Hadi S. Alikodra dalam bedah buku karyanya di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan perubahan iklim juga membuat banyak burung air yang bermigrasi kehilangan habitat. Kenaikkan muka air laut tidak menutup kemungkinan burung-burung itu bingung menentukan lokasi pendaratan, mengingat lokasi yang biasa disinggahi hilang terendam air laut.

Perubahan masa tanam tanaman pangan superti padi pun mempengaruhi keberadaan burung-burung air.

Di Cirebon bagian utara, masa panen padi bisa ditingkatkan menjadi tiga kali setahun. Di satu sisi itu berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, perubahan itu membuat burung-burung air kesulitan menentukan masa bermigrasi.
 
Fungsi Ekologis Kuntul Kawanan burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis) terbang memburu cacing dan serangga yang bermunculan saat tanah persawahan sedang dibajak di Desa Buran, Karanganyar, Jawa Tengah. Spesies burung air ini juga memiliki fungsi ekologi untuk membantu penyerbukan beberapa jenis tumbuhan. (ANTARA FOTO/Hafidz Novalsyah)


Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno mengatakan bahwa banyak yang memuji kekayaan alam Indonesia, namun pada saat bersamaan kekayaan alam itu menjadi yang paling terancam oleh berbagai macam persoalan.

Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 17 persen spesies burung dunia ada di Indonesia. Namun masih ada yang mencintainya secara posesif dengan mengurung burung-burung air.

"Mudah-mudahan ini tidak berlaku untuk burung-burung air migran. Perburuan liar juga masih menjadi tantangan untuk menyelamatkan burung air di Indonesia," katanya.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan jalur-jalur migrasi burung air semakin berkurang karena tempat-tempat basah juga semakin berkurang.

"Melalui buku ini harapannya tempat-tempat basah tadi sebagai lokasi migrasi burung dapat selamat, selain juga menjadi penyemangat penggiat konservasi di Indonesia dan memunculkan buku-buku konservasi lain," katanya.


Aspek Sosial

Prof Hadi S Alikodra juga mengatakan bahwa aspek sosial harus diperhatikan dalam mengatasi masalah kerusakan ekosistem tempat burung-burung air berdiam, karenanya dia membahas masalah itu dengan Guru Besar Universitas Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Prof. Azyumardi Azra.

"Kerja kita sangat mulia apa pun ilmu konservasi yang dikembangkan. Dan terkadang, ada yang hilang saat menjalankan upaya konservasi, yakni aspek spiritualnya. Ilmu bisa tinggi, tapi perlu diingat itu semua ciptaan Yang Kuasa," lanjutnya.

Dia juga berbicara dengan Agustinus Gusti "Nugie" Nugroho, menggali masukan dari musisi yang juga pegiat konservasi lingkungan itu mengenai upaya penyelamatan burung-burung air yang ada di Indonesia, baik yang memang berasal dari Indonesia maupun burung-burung air migran.

Baca juga:
WWF ajak masyarakat adat jaga habitat Cenderawasih
Ekosistem Burung Indonesia Terancam Punah

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018