Kalau bahaya narkoba dan hiburan tidak jelas merasuk, maka hasilnya kurang bagus. Dari situ, saya terinspirasi untuk membuat sanggar.
Jakarta (ANTARA News) - Tersebab dirinya prihatin melihat anak-anak harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer untuk ke sekolah, Brigadir Polisi Muhamad Saleh (33) lalu membangun sekolah.
   
Ia harus merogoh uang dari sakunya sendiri untuk membangun sekolah yang diberi nama Sekolah Dasar Swasta (SDS) Anak Soleh di Desa Tunas Baru, Rarowatu Utara, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
   
Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai Babinsa Kamtibnas itu mengaku tak kuasa melihat perjuangan anak-anak yang menempuh perjalanan jauh. "Melintasi hutan, pematang sawah dan juga tambak untuk menuju sekolah ke desa tetangga. Perjuangan mereka cukup berat," ujar Saleh.
    
Anak-anak juga harus berangkat subuh ke sekolah, karena jarak dari rumah ke sekolah memakan waktu hingga 1,5 jam. Para orang tua terpaksa menemani anak-anaknya ke sekolah.
   
Pada mulanya, sekolah yang dibangun pada 2015 itu menggunakan rumah milik warga yang kebetulan pada saat itu pergi merantau. Delapan bulan kemudian, sang pemilik kembali menempati rumah tersebut. Namun pada akhirnya dengan bantuan sumbangan dari warga terbentuklah sekolah dengan tiga kelas yaitu kelas satu, dua, dan tiga.
   
Awalnya, yang menjadi guru hanya Saleh dan istrinya, yang memiliki latar belakang sarjana pendidikan. Tapi pada akhirnya, Saleh mendapatkan tiga guru yang bisa mengajar di masing-maising kelas. Lagi-lagi gaji para itu berasal dari uang miliknya. Saleh mengaku ikhlas, asalkan anak-anak tak perlu lagi menempuh perjalanan jauh untuk sekolah. "Waktu yang digunakan dalam perjalanan menuju ke sekolah di desa sebelah, bisa digunakan untuk belajar lebih lama di sekolah ini."
   
Kini sekolah tersebut memiliki tiga ruang kelas dan dihuni sekitar 35 murid. Semua perjuangan Saleh kini tak sia-sia, berkat kerja kerasnya ia diganjar penghargaan Frans Seda Award 2018 untuk kategori bidang pendidikan. "Saya berharap tidak hanya bisa membuat sekolah dasar saja, tetapi juga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)," harap Saleh.


 
Ilustrasi - Sejumlah murid kelas 6 SD Negeri Kasunyatan 1, Kasemen, Serang, Banten, Senin (6/5), bermain di jendela sekolah yang bolong sebelum berlangsungnya Ujian Nasional (UN). (FOTO ANTARA/Asep Fathulrahman)



Sanggar Tratama

Lain lagi cerita Edi Syahputra (26), yang mendapatkan penghargaann Frans Seda Award 2018 untuk kategori bidang kemanusiaan.
   
Anak pertama dari empat bersaudara itu mendirikan sanggar Tratama. Semuanya berawal dari keprihatinannya akan lingkungan di tempat tinggalnya di Desa Sabak Lama, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang mana generasi muda banyak mendapatkan hiburan yang tidak mendidik dan dikelilingi bahaya narkoba.
   
"Saya percaya, kalau kita terlahir di lingkungan yang baik maka hasilnya juga akan baik. Saya mikirnya seperti itu, apalagi saya punya adik, saya punya keluarga. Kalau bahaya narkoba dan hiburan tidak jelas merasuk, maka hasilnya kurang bagus. Dari situ, saya terinspirasi untuk membuat sanggar," kata Edi.
   
Jika sanggar biasanya identik dengan tarian, tidak begitu dengan sanggar Tratama. Ada empat program di sanggar itu yakni pengembangan diri, seni budaya, keagamaan dan kewirausahaan. Tarian yang diajarkan mulai tari Melayu, Jawa hingga Batak. Ia bersama seorang adik dan tiga orang temannya mendirikan sanggar pada 2010.
    
Putra dari seorang buruh bangunan itu mengaku tidak punya tempat tetap untuk kegiatan sanggarnya. Biasanya ia menggunakan halaman rumahnya hingga lapangan dekat rumahnya. Namun kini, ia menggunakan sebagian rumahnya untuk kegiatan sanggar.
   


 
Ilustrasi - Malam Apresiasi Seni Melayu Para penampil mementaskan Tari Lilin pada Malam Apresiasi Seni Melayu Jambi Tahun 2016 di Gedung Pertemuan Taman Budaya Jambi, Rabu (6/1) malam. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/pd/16.)



Edi juga menciptakan pola pendidikan dengan metode Creative, Innovative dan Sinergy (CIS) melalui sanggar yang didirikannya. Sanggar itu juga memberikan pendidikan dan pola berpikir kreatif kepada anak-anak desa untuk menempuh pendidikan yang lebih baik, serta menjadi generasi produktif, bukan konsumtif menuju peradaban yang lebih baik.
   
Awalnya Edi tak menyangka sanggar seni tari dan musik yang didirikan mendapat apresiasi dari remaja setempat. Kini, sejumlah undangan berdatangan ke sanggarnya. Bahkan anak didiknya rutin menjadi pengisi acara setiap Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Langkat. "Kami juga membuatkan zona kreatif, agar anak-anak bisa berpikir kreatif."
   
Untuk biaya pelaksanaan, Edi juga merelakan sebagian keuntungan dari bisnis percetakannya digunakan untuk operasional kegiatan. Bisnis percetakannya sudah dibangun sejak dia duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
  
Kini sanggar, maupun bisnis tersebut dikelola bersama teman-temannya semasa kuliah. Setiap hari, sekitar 40 anak memadati rumahnya selepas pulang sekolah.
  
Apa yang dilakukannya tersebut, kata Edi berasal dari ayahnya, Ngalimin. Meski hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan pas-pasan, tapi memiliki perhatian besar pada pendidikan anak-anaknya.
   
Baik Saleh maupun Edi sadar betul, bahwa Indonesia terlalu besar jika hanya diurus oleh pemerintah seorang. Perlu adanya partisipasi para pemuda dalam membangun bangsa ini agar sesuai dengan apa yang dicita-citakan.

Edi dan Saleh mewujudkan sumpah yang diucapkan para pemuda dalam Sumpah Pemuda, tepat sembilan puluh tahun yang lalu. Semangat Sumpah Pemuda itu pula yang membuat Saleh dan Edi, tak hanya tinggal diam menikmati kemerdekaan tapi juga mengisinya.*  


Baca juga: Pemuda diminta merawat persatuan bangsa

Baca juga: Ketika pemuda memilih jadi relawan





 

Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018