Jakarta (ANTARA News) - Pekik haru dan penuh syukur segera menggema di ruang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (4/9), ketika majelis hakim memaklumatkan PT Dirgantara Indonesia (DI) memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit. Entah apa yang terbayang dalam pikiran ratusan mantan karyawan PT DI saat mendengar gugatan pailit mereka dikabulkan untuk seluruhnya. Mungkin masa depan yang lebih baik, karena kompensasi pesangon dan tunjangan hari tua yang mereka tuntut selama empat tahun dapat segera terbayar melalui pelelangan aset PT DI yang telah dinyatakan bangkrut. Namun, teriakan gembira mereka menyambut amar putusan bukan hanya mematahkan sangkalan manajemen PT DI bahwa selama ini tidak berutang apa-apa kepada mantan karyawan. Pekik kemenangan mereka seolah sekaligus meruntuhkan arah kebijakan pembangunan Indonesia yang selalu digaungkan lantang pada masa Orde Baru. Selain memutuskan PT DI berutang kompensasi pesangon dan tunjangan hari tua kepada 6.500 mantan karyawannya senilai Rp200 miliar, majelis hakim menyatakan tidak ada alasan untuk mempertahankan eksistensi PT DI, meski perusahaan industri penerbangan itu dalam tanggapannya mengklaim diri sebagai obyek vital nasional. Majelis menilai, dokumen laporan kinerja perusahaan selama lima tahun terakhir dan rencana kerja hingga 2017 yang disodorkan PT DI ke persidangan tidak cukup beralasan untuk membuktikan klaim perusahaan tersebut. "Pada kenyataannya, dokumen itu hanyalah estimasi yang tidak berdasarkan sarana dan prasarana serta modal yang mendukung," kata hakim anggota Heru Pramono saat membacakan putusan. Kerugian Rp78 miliar yang diderita perusahaan itu pada 2006 justru menjadi pertimbangan kuat majelis untuk memailitkan PT DI. PT DI yang dahulu kala bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dimaksudkan sebagai lompatan raksasa guna mengejar ketertinggalan teknologi Indonesia. Teknologi canggih yang dihadirkan oleh IPTN dulu, diharapkan dapat menjadi umpan guna menguasai teknologi lain yang lebih rendah tingkat kerumitannya. Cerita tentang PT DI tidak sepenuhnya mengenai kegagalan. Indonesia sempat bangga memproduksi pesawat CN-235 dan N-250, meski hanya ditukar beras ketan oleh negara tetangga. Tapi Proyek mercu suar bermodal triliunan rupiah itu kini hanya menyisakan kisruh tuntutan ribuan mantan karyawan yang terpaksa menjalani PHK sejak 2003 dan berhektar-hektar tanah lapang yang kini ditumbuhi alang-alang serta bangunan kosong tak terawat di kawasan PT DI, Bandung, Jawa Barat. Lepas Landas Kebijakan pembangunan Indonesia selama 30 tahun Orde Baru berkuasa menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, dengan harapan apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia dipacu cepat, maka Indonesia dapat segera menyejajarkan diri dengan negara-negara makmur. Pemikiran ahli ekonomi asal Amerika Serikat, Walt Whitman Rostow, merasuki perumus kebijakan pembangunan Orde Baru, sehingga dengan menaruh kepercayaan pada teori Rostow mereka menyusun arah pembangunan Indonesia. Rostow berteori, adalah mungkin mengidentifikasi semua jenis masyarakat dalam lima tahap perkembangan, yaitu masyarakat tradisional, masyarakat dalam kondisi persiapan tinggal landas, tahap tinggal landas, tahap kematangan ekonomi, dan tahap konsumsi massa yang tinggi. Rostow percaya semua negara-negara maju berhasil mencapai kemakmurannya setelah melalui seluruh tahap masyarakat yang disebutkan dalam teorinya. Dasar pemikiran Rostow adalah bahwa negara berkembang seperti Indonesia sangat ketinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga untuk menjadi makmur dan modern sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat yang dijabarkannya, negara berkembang harus mengikuti jalur pembangunan seperti yang telah ditempuh oleh negara maju. Indonesia pun bersiap untuk tinggal landas, dengan menaruh kepercayaan tinggi terhadap teori Rostow. Industri canggih dan modern seperti IPTN dibangun untuk mencapai tahap tinggal landas tersebut. Industri berat, mulai dari manufaktur dan petrokimia, secara serempak dibangun untuk menjadi motor pertumbuhan eknomi. Industri berat berbasis teknologi tinggi yang masih diimpor dari luar, termasuk bahan bakunya, dibangun untuk tahap persiapan tinggal landas, sebagai tahap peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Tidak hanya teknologi dan bahan baku yang terpaksa harus diimpor untuk menunjang industri tersebut, modalnya pun didatangkan dari luar dalam bentuk pinjaman dan investasi asing. Ketergantungan industri pada utang luar negeri, impor teknologi dan bahan baku, menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap aliran keluar modal jangka pendek dan gejolak nilai mata uang. Sehingga, industri yang dibangun selama tiga puluh tahun pun ambruk oleh kedatangan krisis moneter. Determinisme Teknologi Sejarawan Merrit Roe Smith dalam bukunya "Does Technology Drive History?: The Dilemma of Technological Determinism", merumuskan konsep determinisme teknologi lahir dari revolusi industri yang melanda Inggris pada abad ke-18. Paham determinisme teknologi berkeyakinan, teknologi adalah kekuatan kunci yang dapat mengubah nasib suatu masyarakat, seperti halnya yang dialami oleh Inggris pada masa revolusi industri. Prinsip dasar yang dipegang penganut pandangan determinisme teknologi adalah kedatangan suatu teknologi tidak dapat dihindarkan guna memajukan suatu masyarakat dan masyarakat harus beradaptasi serta dikondisikan untuk menerimanya. Pandangan determinisme teknologi itu mempengaruhi teori dan kebijakan pembangunan Indonesia. Teknologi dianggap sebagai alat produksi sosial dan ekonomi yang diharapkan dapat membawa percepatan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat struktur sosial budaya masyarakat tempat diterapkannya teknologi tersebut. Transfer teknologi memang terjadi, namun hanya datang berbarengan dengan investasi asing tanpa menyisakan ruang guna memiliki teknologi itu secara mandiri. Di akhir 1990-an, mulai berkembang suatu paham baru untuk memandang teknologi dari sisi lain. Pandangan tersebut menamakan dirinya "social constructivism" atau konstruktivisme sosial, dan mulai dipelajari di negara-negara maju dalam kajian ilmu dan teknologi. Paham tersebut berangkat dari pandangan bahwa setiap struktur teknologi memiliki pola dan bentuknya tersendiri, sesuai dengan tantangan dan pengaruh kehidupan masyarakat tempat teknologi itu tumbuh dan berkembang. "Social constructivism" berupaya memandang teknologi sebagai fenomena sosial dan produk dari hasil kehidupan berbudaya suatu masyarakat. Cara pandang seperti itu membebaskan masyarakat untuk membentuk sendiri pola struktur teknologinya sesuai dengan budaya dan struktur sosial yang telah terbentuk, sehingga program pembangunan dan modernisasi yang diterapkan telah berakar pada budaya kehidupan setempat. Manusia, sesuai dengan fitrahnya adalah makhluk pekerja, sehingga tidak ada manusia yang tidak berbudaya. Dengan cara pandang tersebut, maka setiap manusia berhak atas teknologinya sendiri, dengan ciri khas dan polanya tersendiri, sehingga tidak boleh ada pemaksaan atas nama program modernisasi apa pun yang dapat mengakibatkan sekelompok masyarakat menjadi penerima teknologi yang pasif dan mengakibatkan ketergantungan sehingga lambat laun justru tersisih dari proses modernisasi itu. Pengalaman pahit badai krisis moneter yang membuat ambruknya industri berteknologi impor, termasuk proyek IPTN, sudah cukupkah mengajari Indonesia? Pengejaran teknologi yang bukan milik bangsa sendiri terbukti tidak membawa masyarakat Indonesia lepas landas dari kultur bangsa sendiri. Albert Einstein, setelah melihat bom atom menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima, pernah melontarkan sebuah pernyataan. Dia menyebutkan, teknologi, jika tidak ditempatkan semestinya, hanya menjadi bencana yang meluluhlantakan kehidupan manusia. (*)

Oleh Oleh Diah Novianti
Copyright © ANTARA 2007