Pembiaran terhadap maraknya kampanye hitam bisa mengakibatkan nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang hanya kita dengar cerita kejayaannya saja
Jakarta, (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menyatakan kampanye hitam terhadap industri sawit di dalam negeri harus cepat ditangani agar dampaknya tidak meluas  terhadap neraca perdagangan dan investasi luar negeri.

Apalagi, kata Bhima, di Jakarta, Selasa Indonesia terus mengalami defisit perdagangan sejak  beberapa tahun terakhir.

"Pembiaran terhadap maraknya kampanye hitam bisa  mengakibatkan nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang hanya kita dengar cerita kejayaannya saja,"kata Bhima.

Dalam perdagangan global, persoalan hambatan dagang dan kampanye hitam terhadap CPO dapat dipetakan ke dalam beberapa isu. Di Amerika Serikat isu dumping dan persaingan biofuel lebih mendominasi.Sementara itu, di Uni Eropa, sawit dihadang persoalan lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Perlu lobi intensif agar persoalan itu, tidak dipolitisir menjadi kampanye hitam," katanya menanggapi maraknya aksi-aksi penghadangan yang dilakukan LSM internasional terhadap kapal sawit Indonesia yang akan melakukan ekspor.

Sementara itu Peneliti Pusat Litbang Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) Chairil Anwar Sirega Chairil berpendapat, kampanye positif jauh lebih beretika, edukatif, serta mendapat dukungan banyak pihak untuk ikut terlibat.

"Cara Greenpeace menaiki kapal kargo asing  dengan mengatasnamakan aksi damai lebih terkesan negatif. Cara seperti ini harus ditinggalkan karena tidak membawa perbaikan serta tidak penting bagi bangsa kita," katanya.

Kampanye lingkungan seharus mengarah pada edukasi positif agar berdampak bagi perbaikan lingkungan, lanjutnya, apalagi, industri sawit punya komitmen dan konsisten melakukan perbaikan dalam segala aspek termasuk lingkungan.

"Kalau tujuannya perbaikan lingkungan, banyak cara bisa dilakukan seperti berdiskusi dengan pihak-pihak yang mereka ragukan dengan difasilitasi pihak ketiga. Cara ini lebih beradab dan memberikan solusi jangka panjang," kata Chairil.

Menurut dia, diskusi juga bisa menjadi cara organisasi lingkungan untuk mempunyai persektif lain mengenai perbaikan dan pemanfaatan lingkungan.

Dia mencontohkan, terkait emisi, hutan dan perkebunan sawit bisa dikomparasi. Hutan alam umumnya mempunyai biomass 400 ton dan menghasilkan karbon 200 ton per hektare. Sementara itu, perkebunan sawit umur 10 tahun hanya menghasllkan biomas sebesar 100 ton per ha.

"Secara kasat mata hutan alam menghasilkan karbon lebih besar namun statis. Sementara itu, CPO yang dikeluarkan perkebunan sawit mampu menghasilkan karbon 30 ton per ha per tahun. Jika dikalikan 10 tahun saja, maka dihasilkan 300 ton. Kalau dijumlahkan karbon yang dihasilkan kebun sawit sama nilainya dengan hutan alam yang masih bagus," katanya.

Pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sudarsono Soedomo sepakat bahwa sebagian besar LSM asing di Indonesia tidak mematuhi prosedur dan aturan, karena itu, sudah saatnya pemerintah  tegas dan tidak  berkompromi.

"Investigasi perlu dilakukan terhadap Greenpeace, serta LSM lain untuk mengetahui kepatuhan terhadap hukum Indonesia," kata dia.***3***

Baca juga: Indonesia ajak ASEAN lawan kampanye hitam sawit
Baca juga: Pengusaha dukung pemerintah lawan kampanye hitam sawit Indonesia

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018