Jakarta (ANTARA News) - Kunjungan Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin ke Jakarta 6 September 2007 merupakan batu pancang penting dalam hubungan dengan Republik Indonesia (RI). Ia menjanjikan pemulihan atau restorasi hubungan kedua negara yang selama 50 tahun terbengkalai. Dulu waktu Rusia masih berupa Uni Soviet, berideologi komunisme, hubungannya dengan RI di bawah Presiden Soekarno bagus sekali. Sebagai Pemimpin Redaksi harian Pedoman (yang kemudian dilarang terbit oleh Soekarno dan Soeharto), saya hadir di Bandara Kemayoran tatkala 18 Februari 1960 rombongan PM Nikita Khruschev mendarat untuk sebuah kunjungan kenegaraan dengan membawa serta Menlu A. Gromyko. Saya turut meliput perjalanan Khruschev dan saya menulis seri reportase berjudul "Safari Nikita". Waktu itu Uni Soviet memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada RI. Untuk meringkaskan sebuah cerita panjang, kunjungan Khruschev itu berakibat RI memperoleh senjata cukup mengesankan sehingga akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, dibebaskan dari penjajahan Belanda. Sejak itu banyak yang telah terjadi. Uni Soviet ambruk. Komunisme hancur. Perang dingin berakhir. Tidak ada lagi pilihan antara blok Barat (kapitalisme) dengan blok Timur (komunisme). Yang tinggal hanya satu adidaya yakni Amerika Serikat. Rusia pengganti Uni Soviet beberapa waktu lamanya menjadi "orang sakit" dari Eropa Timur, ekonominya menghadapi kesulitan, namun berkat minyak bumi dan gas alamnya, bangkit kembali. Rusia kini produsen minyak 9,5 juta barel per hari. Cadangan devisanya 400 milyar dolar AS. Orang-orang kaya Rusia bermunculan dan menjadi pengusaha global. Dengan pimpinan Presiden Putin sejak tahun 2000 kepercayaan Rusia kembali dan ingin memastikan dirinya dalam percaturan politik internasional. Kunjungan sehari Putin ke Jakarta membawa tawaran yang tak boleh dialpakan oleh RI. Ia membawa puluhan pebisnis dalam rombongannya. Ia menjanjikan kerjasama investasi senilai empat milyar dolar AS, bahkan bisa meningkat hingga 7-8 milyar dolar AS. Ia menyediakan kredit ekspor bernilai satu milyar dolar AS untuk membeli peralatan militer. Pers internasional menamakan hal belakangan ini sebagai "diplomasi senjata" dari Putin. Rusia telah memulai suatu gerak strategis untuk menancapkan dirinya sebagai pemain penting di kawasan Asia Tenggara. Sesungguhnya Rusia sudah lama menjadi penjual senjata yang dilanggani China dan India. Kedua negara itu membelanjakan milyaran dolar AS untuk memperluas daya mampu militernya dengan membeli pesawat tempur, kapal perang, kapal selam, dan peluru kendali dari Rusia. Kini Rusia sedang mencari para pelanggan baru secara agresif. Usaha-usaha penjualan senjata Rusia difokuskan pada Asia Tenggara. Rusia setuju melaksanakan syarat-syarat pembayaran yang luwes. Transaksi belakangan ini dengan RI mencakup kapal-kapal selam kelas Kilo, pesawat tempur jet, helikopter, tank-tank, berdasarkan akses kepada pinjaman Rusia sebesar satu milyar dolar AS. Diplomasi senjata bisa membantu Rusia membangun kembali hubungan-hubungan diplomatik dan memperoleh daya ungkit di kawasan Asia Tenggara. Suratkabar "International Herald Tribune" (6/9) memberitakan bahwa penjualan kapal-kapal selam tangguh kelas Kilo kepada RI mungkin tidak bersambut baik oleh beberapa negara tetangganya. RI mengangkangi dua jalan air paling penting di dunia yakni Selat Malaka dan Selat Sunda. Sebanyak 75 persen impor minyak bumi Asia Timur Laut melewati Selat Malaka. Penjualan kapal-kapal selama kelas Kilo akan memberikan kepada Indonesia suatu kemampuan militer baru di jalur-jalur pelayaran itu. Pada hemat saya, terlepas dari maksud dan tujuan Rusia menawarkan alat senjata kepada RI, sudah selayaknya kita memperbaharui dan memperbaiki perlengkapan militer. Kini RI hanya punya dua kapal selam peninggalan zaman Uni Soviet. Karena kurang onderdil kedua kapal selam itu kadang-kadang tidak bisa menyelam ke dasar laut. Karena itu pembelian kapal selam kelas Kilo tepat sekali agar RI tidak dipandang remeh oleh negara-negara tetangga, mentang-mentang mereka punya persenjataan superior karena punya banyak duit. RI perlu cukup kuat di bidang militer agar jangan gampang "dijitak" atau "dikentuti" oleh negara tetangga bila timbul persoalan tapal batas. Atau kekayaannya di laut berupa persediaan ikan dijarah oleh kapal-kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan kita semau-maunya. Semua itu bisa dicegah bila kita punya "gigi" berupa persenjataan militer yang berfungsi sebagai penangkal. Maka apabila Rusia kini dengan kredit yang disediakannya memungkinkan RI membeli senjata dari Rusia maka kesempata itu harus kita ambil. Demi menegakkan martabat bangsa, menjaga kedaulatan negara, memelihara kehormatan diri, kita perlu punya kemampuan untuk menghentikan sikap arogan alias congkak yang selama ini ditunjukkan oleh sementara negara tetangga terhadap RI. Perang dingin telah berakhir. Ideologi komunis tak usah dikhawatirkan. Maka belilah senjata Rusia itu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007