Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela kunjungan kerjanya ke New York, Amerika Serikat (AS), pada 22-26 September 2007, dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Bank Dunia, Robert B. Zoellick, yang antara lain guna membahas harta Presiden Kedua RI, HM Soeharto. Pertemuan Presiden RI dengan Bank Dunia tersebut untuk membicarakan temuan Bank Dunia menyangkut mantan Presiden Soeharto yang menempati urutan pertama daftar pemimpin politik dunia yang diperkirakan mencuri kekayaan negara dalam jumlah besar selama kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir. "Presiden Yudhoyono dijadwalkan akan bertemu Presiden Bank Dunia. Hanya meminta kejelasan bagaimana rencana mereka dalam masalah ini," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden Jakarta, Rabu. Daftar kekayaan Soeharto tersebut tercantum dalam buku panduan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia bersamaan dengan peluncuran Prakarsa Penemuan Kembali Kekayaan Yang Dicuri (Stolen Asset Recovery/StAR) Initiative di Markas Besar PBB, New York, Senin (17/9). Peluncuran Prakarsa dihadiri oleh Sekjen PBB, Ban Ki-moon, Presiden Bank Dunia, Robert B. Zoellick, dan Direktur Kantor PBB untuk masalah Obat-obatan terlarang dan Kejahatan (UNODC) Antonio Maria Costa, serta para pejabat tinggi sejumlah negara anggota PBB, termasuk Deputi Watap RI untuk PBB, Adiyatwidi Adiwoso, dan Direktur Perjanjian Internasional Deplu-RI, Arif Havas Oegroseno. Menlu Hassan Wirajuda mengatakan, pemerintah juga akan menugaskan Tim "Raising and Recovery" yang dalam satu dua hari ini akan ke Washington DC, Amerika Serikat (AS), untuk berbicara dengan pihak Bank Dunia guna mendapat kejelasan mengenai konsep yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut. "Kita juga akan berbicara mengenai latihan mengenai pencarian dan pengembalian aset negara sebab hal itu tidak mudah, perlu keahlian dan pengetahuan. Dalam hal ini Bank Dunia menawarkan itu," katanya. Anggota Tim "Raising and Recovery" yang dibentuk sejak beberapa bulan lalu itu, kata Menlu, terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Deplu, Kepolisian dan instansi terkait lainnya. Mengenai apa yang diungkap Bank Dunia tersebut, Hassan Wirajuda mengatakan, hal tersebut merupakan inisiatif dari Bank Dunia dan PBB untuk membantu negara-negara berkembang yang mengalami persoalan dengan larinya harta pemodal dari negara mereka ke negara maju akibat korupsi. Karena itu, lanjutnya, upaya Bank Dunia itu diharapkan dapat membantu mengembalikan harta, dana, yang lari ke luar negeri. "Ini lebih merupakan kampanye pada tingkat global, tetapi bagi kita kalau upaya itu efektif, maka akan membantu dalam melakukan `asset recovery` atau mengembalikan dana-dana dari Indonesia yang lari ke luar negeri," katanya. Menurut Menlu, apa yang dilakukan Bank Dunia itu penting karena tidak mudah mengembalikan harta yang dikorupsi dan disimpan di luar negeri. "Tentu memerlukan dukungan masyarakat internasional. Pihak Bank Dunia pasti juga tahu bahwa Indonesia secara umum mengalami persoalan dengan larinya dana-dana yang di korupsi ke luar negeri," tambahnya. Menlu menambahkan, Bank Dunia mempunyai jaringan dengan berbagai bank di negara lain, terutama di negara maju sehingga diharapkan dapat mempengaruhi bank-bank asing agar lebih terbuka dalam membuka dana-dana yang sifatnya dari hasil korupsi. "Mudah-mudahan dengan inisiatif Bank Dunia ini, bisa membantu. Kita belum jelas inisiatifnya tetapi niatannya adalah untuk membantu negara berkembang," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007