Dalam kebingungan itu, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mewujudkan kepentingan elektoral tertentu.
Jakarta (ANTARA/JAcx) - Kehebohan mengenai tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos merebak awal pekan ini.  Tak hanya cuitan di media sosial terkait itu,  beredar pula rekaman suara berdurasi sekitar 44 detik di kalangan pers yang secara terang-terangan juga mengatakan ada tujuh kontainer kotak surat suara di Tanjung Priok. 

KPU bergerak cepat mendatangi langsung pelabuhan Tanjung Priok, tak lama setelah cuitan itu beredar. “Tidak ada. Itu tidak benar. Tidak ada TNI AL yang menemukan itu dan tidak benar KPU telah menyita,” ujar Ketua KPU Arief Budiman kepada wartawan, Rabu malam, 2 Januari 2019. 

Arief menegaskan kabar tentang 70 juta surat suara yang sudah dicoblos pada pilihan nomor 01 itu seratus persen berita bohong. 

“Orang-orang jahat yang menganggu penyelenggaraan pemilu harus ditangkap! Kami melapor ke Kepolisian” tegas Arief.

Yang terjadi kemudian mudah ditebak. Kedua kubu kandidat presiden-wakil presiden saling melempar tuduhan, ejekan dan kecaman. Mereka terus berbalas pantun di udara dan saling memanfaatkan situasi.

Apa yang terjadi di atas tentu sebuah perkembangan baru yang menarik untuk dikaji. Obyek dari hoaks politik tidak lagi sekedar isu-isu agama, tetapi juga
kualitas penyelenggaraan pemilu. Bukan hanya identitas dan kualitas para kandidat yang diperdebatkan dan ditelanjangi, tetapi juga kualitas penyelenggara pemilu.

Dalam hal ini, kita perlu belajar dari apa yang terjadi dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.  Sebuah lembaga riset di St Peterburg Russia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin bernama Internet Research Agency, terbukti telah merancang dan melaksanakan propaganda politik berskala besar untuk memenangkan Donald Trump dan Partai Republik. Meskipun berskala besar, propaganda politik terjadi secara senyap dan laten. Sarananya adalah media baru yang sangat familier bagi banyak orang: media sosial.

Guna mengungkapkan skandal di atas, Komite Intelijen Senat Amerika Serikat bekerja sama dengan Computational Propaganda Project Universitas Oxford, perusahaan analisis media sosial Graphika dan perusahaan cybersecurity  New Knowledge. Senat Amerika Serikat mengumumkan penelitian tiga lembaga tersebut akhir tahun lalu.

Sasaran propaganda itu adalah kelompok masyarakat yang cenderung konservatif dalam memandang keberagaman dan masih memendam stereotype tentang kulit hitam, imigran atau Muslim. Kepada mereka terus-menerus disebarkan diskusi-diskusi yang penuh prasangka ras atau agama. 

Dioperasikan ratusan akun media sosial palsu untuk menyebarkan pesan-pesan politik yang provokatif dan insinuatif kepada mereka setiap hari. Mereka dimobilisasi sedemikian rupa untuk membentuk kerumunan politis di media sosial di mana dikotomi imigran vs penduduk asli, kulit putih vs kulit hitam, Muslim vs non Muslim terus-menerus dibicarakan secara apriori dan penuh kebencian.

Sasaran berikutnya adalah orang-orang awam yang secara politik awam dan kurang berminat terhadap pemilu. Kaum awam ini terus-menerus dipasok dengan kabar-kabar burung tentang ketidakberasan tahap-tahap persiapan umum dan tata-cara coblosan. 

Kepada mereka, ditanamkan keyakinan bahwa penyelenggaraan pemilu penuh kecurangan dan para penyelenggara pemilu cacat secara moral. Mereka pertama-tama dibuat bingung lalu kemudian jengkel dan kecewa. Hingga kemudian meletup ekspresi-ekspresi kemarahan berkat hasutan persepsi negatif tentang penyelenggaraan pemilu dan pemerintah yang sedang berkuasa.

Pengalaman Amerika Serikat di atas jelas sangat relevan untuk menelaah kasus kabar- bohong soal kontainer kotak suara di atas. Indonesia tengah berada dalam suasana politik yang memanas dan bergejolak belakangan.  Salah-satu lokusnya adalah  adalah arus informasi dan diskusi di media sosial. 
 
Warga memegang poster berisi ajakan menolak berita hoax saat mengikuti deklarasi internet sosial media sehat, di Medan, Sumatera Utara, Minggu (25/3/2018). Kegiatan yang digelar pegiat sosial media dan Polrestabes Medan tersebut mengajak masyarakat cerdas menggunakan internet dan menolak berita hoax. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)


Karena paham ruang media massa tidak dapat secara leluasa digunakan untuk menyebarkan desas-desus, insinuasi dan kebohongan, para juru kampanye dan simpatisan pun beroperasi di jagad media sosial. Di ruang media baru ini, mereka berperilaku acuh tak acuh, apriori, hantam kromo dan tak mempedulikan dampak publik. Mereka menghalalkan segala cara.

Ada pelajaran penting dari skandal propaganda politik di media sosial dalam pilpres Amerika Serikat di atas. Isu agama dan ras menjadi obyek utama untuk mempermainkan emosi para pengguna media sosial. Bukan akal-sehat yang disasar, melainkan sentimen primodial. 

Para perancang propaganda nampaknya paham betul hubungan antara media sosial dan isu primodial. Begitu digoyang-goyang keyakinan primodialnya, para pengguna media sosial berubah menjadi sentimentil, sensitif dan emosional menghadapi fakta keberagaman. 

Tak terbatas pada orang awam, mereka yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas pun juga  begitu mudah terindoktrinasi dan dimobilisasi. Mereka begitu cepat berubah menjadi bersikap tertutup bahkan intoleran terhadap pihak yang berkeyakinan berbeda. 

Masalahnya adalah, jika bangsa Amerika Serikat yang sangat rasional dan literate begitu mudah dipengaruhi untuk bersikap reaksioner menghadapi  fakta keberagaman, bagaimana dengan bangsa Indonesia?

Namun isu agama tidak sendirian dalam urusan hoax tentang pemilu. Hal baru yang diungkapkan Komite Intelijen Amerika Serikat bulan Desember lalu adalah hoax tentang pemilu juga menyasar isu penyelenggaraan pemilu. Melalui media sosial, disebarkan desas-desus ketidakberesan dan kecurangan penyelenggaraan pemilu. 

Masyarakat dibuat bingung tentang proses persiapan pemilu, kampanye dan mekanisme pencoblosan. Disebarkan opini negatif terhadap pelaksanaan pemilu secara keseluruhan. Propaganda ini bergulir sedemikian rupa sehingga dampak yang timbul bersifat delegitimatif terhadap Hillary dan Partai Demokrat sebagai partai petahana dan sebaliknya, bersifat legitimatif terhadap Trump atau Partai Republik sebagai partai penantang.

Propaganda negatif tentang penyelenggaraan pemilu ini relevan untuk konteks  Indonesia hari ini. Pemilu 2019 adalah pemilu yang sangat rumit dan baru pertama kali terjadi. Di bilik suara, bangsa Indonesia mesti menghadapi 5 surat suara sekaligus. 

Pemilu 2019 bukan hanya hajatan untuk memilih presiden dan wakil presiden, melainkan juga hajatan besar untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPD, anggota DPRD Tingkat I dan DPRD tingkat II.  Dapat dibayangkan betapa pusingnya masyarakat dalam mengenali pada calon pemimpinnya.

Lebih dari 300 ribu kandidat akan memperebutkan 20.500 kursi DPR, DPD, DPRD I, DPRD II. Akan bekerja total 5.000.000 panitia pemungutan suara di 850 ribu TPS di seluruh Indonesia.

Sementara semua orang paham, hingga hari ini sosialisasi tentang para kandidat dan proses pemungutan suara secara keseluruhan masih sangat kurang. Media massa jorjoran memberitakan kontestasi pemilihan presiden dan mengabaikan pemilihan legislatif. Yang ada dibenak rata-rata orang Indonesia hingga hari ini tentang pemilu 2019 tak pelak adalah hanya pemilihan presiden.

Hal ini menimbulkan kerumitan dan kerawanan yang serius. Menyimak kasus Amerika Serikat di atas, muncul para provokator atau spekulator yang memanfaatkan kerawanan itu untuk menyebarkan spekulasi, desas-desus dan kabar bohong  yang semakin membingungkan masyarakat. 

Dalam kebingungan itu, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mewujudkan kepentingan elektoral tertentu.

*Agus Sudibyo, Head of New Media Research Center ATVI Jakarta.


Artikel Terkait : Sejak awal KPU sudah yakin info surat suara dicoblos itu hoaks
Artikel Terkait : KPU lapor soal hoaks surat suara tercoblos ke polisi




 

 

Pewarta: Agus Sudibyo
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2019