New York (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap agar konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali akhir tahun ini dapat mewujudkan suatu zona kesepakatan. Presiden Yudhoyono menyatakan hal itu dalam sambutannya pada acara makan siang yang bertajuk "Global Voice On Climate Change" di Markas Besar PBB New York, Senin siang waktu setempat. "Yang kami harap di Bali nanti dapat tercipta `zone of possible agreement`," kata Presiden Yudhoyono. Pada acara makan siang yang dihadiri seluruh duta besar negara-negara anggota PBB itu, Indonesia bertindak selaku tuan rumah bersama Polandia, Denmark dan Kenya. Menurut Presiden Yudhoyono, penanganan mengenai isu perubahan iklim harus segera dilakukan karena perubahan dunia menuju arah itu tidak dapat dihentikan lagi. Presiden Yudhoyono kemudian merujuk pada sejumlah kasus bencana yang terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan. Presiden Yudhoyono juga berharap pertemuan Bali nantinya dapat merumuskan suatu kerangka dasar kesepakatan baru untuk menggantikan Protokol Kyoto yang mandatnya akan segera berakhir. Disebutkan pula setelah Indonesia, maka Polandia dan Denmark akan menggelar pertemuan lanjutan dengan tujuan untuk melanjutkan segala sesuatu yang telah dapat dirumuskan di Bali. Indonesia selaku tuan rumah UNFCC akan membawa tujuh agenda dalam pertemuan tersebut yaitu adaptasi, migitasi, CDM (Clean Development Mechanism), mekanisme finansial, pengembangan teknologi dan kapasitas, pengurangan deforestasi (perusakan hutan), serta pasca 2012 atau pasca Kyoto Protocol. Sementara itu Presiden Polandia Lech Kaczynski selaku pembicara kedua menyatakan keyakinannya bahwa dengan pertemuan UNFCC maka akan tercapai suatu solidaritas yang lebih tinggi terkait penanganan isu perubahan iklim. "Bagi Polandia, seruan ini adalah seruan untuk solidaritas," katanya dan menambahkan bahwa penghargaannya kepada seruan yang dilakukan oleh Indonesia agar negara-negara di dunia mulai memberikan perhatian lebih pada isu perubahan iklim. Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Kenya David Mwiraria yang bertindak selaku pembicara keempat. Dia menegaskan akan keperluan suatu langkah kolektif dunia untuk menyelamatkan lingkungan dan kehidupan manusia mendatang. PM Denmark Anders Fogh Rasmussen yang menutup acara makan siang tersebut menegaskan bahwa program untuk mengatasi isu perubahan iklim boleh jadi adalah suatu proyek yang ambisius, walaupun begitu tetaplah suatu hal yang realistik untuk dilakukan oleh seluruh pihak. Acara makan siang yang berlangsung selama satu jam di bawah pengamanan ketat para petugas pengaman Markas Besar PBB itu menampilkan mantan wakil presiden AS Al Gore sebagai pembicara kunci. Di lantai empat gedung utama PBB itu, Al Gore berbagai gagasannya mengenai keperluan seluruh pihak untuk segera bergerak cepat mengatasi perubahan iklim. Dia juga menyebutkan sejumlah bencana yang mungkin akan dihadapi oleh dunia jika mengabaikan hal itu, antara lain pelelehan es di Greenland yang dapat mengakibatkan kenaikan permukaan air laut hingga di atas 10 meter. Dia juga mengatakan jika negara-negara di dunia tidak bergegas maka boleh jadi bumi akan bernasib sama seperti venus yang sangat panas sehingga kecil kemungkinan akan ada kehidupan yang bertahan. Al Gore juga menyampaikan bahwa perubahan iklim yang berujung pada terjadinya sejumlah bencana juga dapat memicu orang menjadi stres atau dengan kata lain dapat mengganggu kesehatan mental. Pada forum makan siang itu Al Gore juga menyampaikan harapannya agar pertemuan tingkat tinggi mengenai cara untuk mengatasi perubahan iklim dapat digelar setiap tiga bulan sekali hingga program atau target yang diharapkan dapat benar-benar terwujud. Dia menegaskan bahwa sudah saatnya diperlukan aksi nyata lebih dari sekadar komitmen di atas kertas. Sementara itu Sekjen PBB Ban Ki-moon yang juga hadir dalam kesempatan itu saat ditanya pendapatnya setelah makan siang terhadap usulan Al Gore mengatakan bahwa itu adalah usulan yang baik sekalipun ia belum dapat berkomentar banyak karena masih terlalu dini guna membahasnya. "Itu proposal yang bagus, tetapi terlalu dini untuk dikomentari," katanya. Menurut dia, hal utama yang harus dilakukan saat ini adalah menanti hasil dari pertemuan UNFCC di Bali, dari situ baru kemudian dapat ditentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Sementara itu seusai jamuan makan siang, kepada wartawan Presiden Yudhoyono menyampaikan harapannya mengenai terciptanya suatu mekanisme yang benar-benar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Dia juga menegaskan bahwa saat ini dunia tengah melihat ke Bali namun di Bali nanti seluruh pihak akan melihat masa depan dunia. Sejumlah tamu undangan yang ditemui seusai acara makan siang yang tertutup bagi wartawan kecuali wartawan ANTARA dan sejumlah fotografer dan kameramen televisi yang diberikan waktu untuk mengabadikan acara itu menyampaikan apresiasinya atas inisiatif Indonesia, Polandia, Denmark dan Kenya yang menggagas acara itu. Para duta besar berkuasa penuh dari sejumlah negara-negara kepulauan di Pasifik itu menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap kerusakan yang dimungkinkan terjadi akibat perubahan iklim, terutama tentu saja kenaikan permukaan air laut. Namun mereka juga menyadari salah satu hal yang paling sulit dilakukan di lapangan adalah mengubah cara pandang warga mereka terhadap isu perubahan iklim, mengajak warga untuk memberikan perhatian lebih pada isu perubahan iklim. Sementara itu oleh karena tengah menjalani puasa Ramadan, Presiden Yudhoyono selama jamuan makan siang sama sekali tidak menyentuh makanan yang dihidangkan untuknya dan hanya mendampingi para timpalannya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007