Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan Rizal Ramli mendesak agar DPR menghadirkan tujuh mantan menteri lainnya yang terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk mengungkap kasus tersebut. Desakan itu disampaikan Rizal setelah Panitia Kerja BLBI DPR hanya mampu menghadirkan dua mantan menteri, yaitu dirinya dan Kwik Kian Gie, dalam rapat dengar pendapat di Jakarta, Kamis. "Karena secara teknis dan operasional mereka bertanggung jawab," katanya dalam rapat dengar pendapat tersebut. Panitia Kerja BLBI di DPR pada Kamis dijadwalkan melakukan dengar pendapat dengan mantan pejabat yang terkait dalam kasus BLBI, seperti Boediono, Dorodjatun Koentjorojakti, Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Bambang Subianto, Bambang Sudibyo, Glen Yusuf, Syafruddin Tumenggung dan Ginanjar Kartasasmita, guna meminta penjelasan dan mengklarifikasi masalah tersebut. Menurut Rizal, jika semua mantan menteri tersebut dapat dihadirkan maka informasi yang didapatkan akan lebih lengkap. Oleh karenanya, ia menyayangkan sikap para mantan menteri yang tidak mau hadir tersebut. "Saya menginginkan semua mantan menteri perekonomian itu hadir semua. Tapi sayang mantan Menko tidak hadir. Mereka pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak bertanggung jawab," katanya. Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie menginginkan kasus ini dibuka secara transparan sehingga menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. "Kalau memang kasus ini mau dibuka, ini penting, karena ini menyangkut prinsip yang paling dasar supaya tidak diulangi lagi," katanya. Kwik mendukung upaya interpelasi yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPR mengenai kasus BLBI untuk mencari kebenaran. "Saya melihat interpelasi itu makna terbesar yang saya lihat. Mudah-mudahan dengan diterimanya interpelasi itu, muncul sebuah debat yang menegakkan kebenaran," katanya. Sekretaris Panitia Kerja BLBI Dradjad Wibowo agak meragukan efektifitas interpelasi karena adanya banyak pihak yang berkuasa terlibat. "Interpelasi belum tentu jalan. Kasus BLBI ini akan membuat resah pihak-pihak yang mempunyai kekuatan yang luar biasa," katanya. Namun demikian, menurut dia, langkah-langkah untuk mengetahui kebenaran perlu dilakukan. Saat ini, sebanyak 42 anggota DPR dari berbagai komisi dan lintas fraksi mengajukan hak interpelasi kasus BLBI kepada pimpinan DPR RI dan pengajuan hak ini akan ditindaklanjuti ke Rapat Pimpinan (Rapim) DPR. Sejumlah penggagas interpelasi BLBI menyampaikan berkas hak interpelasi tersebut kepada Ketua DPR Agung Laksono di Gedung Nusantara III DPR/MPR/DPD di Senayan Jakarta, Kamis. Juru bicara penggagas interpelasi BLBI, yaitu Andi Rahmat dari Fraksi PKS di dampingi Ade Daud Nasution (PBR) dan Marwoto (PAN). Dalam berkas hak interpelasi dijelaskan bahwa BLBI merupakan skema bantuan pinjaman yang diberikan BI kepada bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadi krisis tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian pemerintah Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp144,5 triliun kepada 48 bank pada Desember 1998. Hasil audit investigasi BPK terhadap penyaluran bantuan likuiditas tersebut menemukan penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp138,4 triliun atau 95,78 persen dari total BLBI yang telah disalurkan hingga 29 Januari 1999. Sedangkan jumlah seluruhnya BLBI sebesar Rp650 triliun. DPR menganggap terjadi penjarahan uang negara melalui skema BLBI itu. Bahkan rakyat harus menanggung bunga obligasi rekap sebesar Rp60 triliun/tahun hingga tahun 2033. "Bunga obligasi itu harus dibayar rakyat setiap tahunnya hingga tahun 2033. Padahal rakyat tidak tahu apa-apa," kata Ade Daud Nasution.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007