Tasikmalaya, Jawa Barat (ANTARA News) -- Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian/PSEKP, Kementerian Pertanian (Kementan), Dr. Handewi P. Saliem mengatakan, potensi nilai ekspor komoditas beras organik diperkirakan mencapai Rp.840 juta hingga Rp.3 miliar/tahun.

"Nilai devisa tersebut kemungkinan masih bisa ditingkatkan karena sampai saat ini permintaan dari negara importir belum semua dapat terpenuhi," ujarnya setelah melakukan kunjungan ke sentra padi organik di Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan bantuan sarana produksi (saprodi) pertanian berupa traktor dan mesin rontok kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik di Tasikmalaya, yang memang dikenal kelompok petani yang berfokus pada beras organik.

Tahun 2009 untuk pertama kalinya Indonesia mengekspor beras organik ke Amerika Serikat sebanyak 18 ton. Setelah itu, ekspor juga dilakukan ke berbagai negara dengan volume ekspor berkisar antara 42 - 152 ton per tahun. Potensi ekspor ini tentu tidak hanya akan menguntungkan petani. Tetapi petani secara aktif juga turut memberi kontribusi dalam menyumbangkan devisa bagi negara.

Meskipun demikian, masih banyak kendala pengembangan padi organik, salah satunya adalah keterbatasan areal persawahan.

Handewi melanjutkan, pemerintah akan berupaya mengatasi kendala pengembangan padi organik sehingga Indonesia dapat memenuhi permintaan pasar dunia ke depannya. " Kementan akan melakukan upaya-upaya, agar kendala dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi organik tersebut dapat diatasi, maka ekspor beras organik Indonesia menjadi sumber pendapatan devisa yang dapat diandalkan," ungkap Handewi.

Adang Suparno, seorang petani di Kampung Cipalegor, Desa Kiarajangkung, Kec. Sukahening, Tasikmalaya berbagi kisah suksesnya membudidayakan padi organik.

“Awalnya ragu juga, karena kan sudah terbiasa dengan cara konvensional,” kenang Adang sebelum akhirnya mulai berbudidaya beras organik sejak tahun 2008.

Belakangan ia bersyukur, telah mengambil keputusan mengolah 13 hektar (ha) sawah dengan cara tanam organik. Karena hasilnya lebih baik, baik dalam jumlah produksi maupun nilai jual.

“Mulai budidaya organik dari 2008, waktu itu ada lahan 13 ha. Alhamduillah hasilnya memang lebih baik dari padi konvensional, dijual juga lebih mahal,” pungkas Adang. 

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019