Jika bendungan dibangun sesuai standar dipersyaratkan, maka bangunan tersebut akan tahan gempa
Medan, (ANTARA News) - Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dibangun dengan rancangan tahan gempa mengadopsi praktik terbaik dari ketentuan nasional dan internasional terbaru yang berlaku.

"Seperti pedoman untuk rancangan dan pelaksanaan bendungan beton dan Balai Bendungan, serta International Commission on Large Dams (ICOLD)," kata Dr Ir Didiek Djarwadi, M.Eng, Tenaga Ahli PT NSHE untuk Desain Bendungan, Kegempaan dan Terowongan, di Medan, Rabu.

PLTA Batang Toru, menurut dia, telah memiliki kajian-kajian gempa yang dipersyaratkan termasuk geologi dan geofisika, serta "Seismic Hazard Assesment" dan "Seismic Hazard Analysis".

"Jika bendungan dibangun sesuai standar dipersyaratkan, maka bangunan tersebut akan tahan gempa," ujar Didiek.

Ia mengatakan, misalnya PLTA Singkarak yang berjarak 2 Km dari sesar aktif dan dirancang untuk tahan gempa sesuai besaran potensi gempa di daerah tersebut, tidak mengalami kerusakan saat terjadi gempa di Sumatera Barat pada tahun 2007 dengan magnitude lebih besar dari prediksi.

Sedangkan, PLTA Batang Toru yang berjarak 4,2 Km dari sesar aktif dan dirancang untuk gempa.

Selain itu, PLTA Batang Toru juga  tidak melibatkan ahli gempa dari Jepang, karena Indonesia juga mempunyai ahli gempa.

"Jadi, Indonesia memiliki ahli gempa yang terkenal dan diakui dunia. Negara asing banyak belajar masalah gempa ke Indonesia," kata Didiek.

Sementara itu, Senior Advisor PT NSHE Dr Agus Djoko Ismanto Aji, mengatakan pmbangunan PLTA Batang Toru secara fundamental akan mempertahankan dan selalu ikut program kelestarian kawasan yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya.

"Secara alami pembangunannya tetap mengedepankan pentingnya kelestarian keragaman hayati termasuk satwa di wilayah Batang Toru," katanya.

PLTA Batang Toru, menurut dia, merupakan pembangkit energi terbarukan yang pembangunannya sudah melalui kajian-kajian mendalam sesuai persyaratan nasional dan internasional.

"Tidak hanya melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kami juga telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assesmen (ESIA) yang menjadikan PLTA Batang Toru pertama di Indonesia yang melaksanakan 'Equatorial Principle'," ujar Agus.

Ia mengatakan, proyek itu memerlukan lingkungan yang mendukung sebagai penyimpan air secara alamiah. Dalam hal ini, PLTA Batang Toru menerapkan sistem "run off river hydropower", sehingga tidak perlu menampung air dalam jumlah banyak.

Namun, air akan tetap mengalir ke hilir selama 24 jam.

"Jadi, aliran sungai tidak terganggu dengan adanya bendungan, karena air tetap akan dilepas," katanya.

Sedangkan, Fitri Noor, M.Sc.For, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KBSDA) Sumatera Utara  mengatakan bahwa area pembangunan PLTA Batang Toru itu berstatus Areal Penggunaan Lain (APL).

Namun, menurut dia, pihak PLTU Batang Toru tetap berperan aktif menjaga keragaman hayati termasuk satwa orangutan.

Dalam hal ini PLTA Batang Toru melakukan studi populasi orangutan dan satwa liar lainnya yang berkoordinasi dan dipandu BBKSDA Sumut, serta Balai Litbang KLHK.

"Sesuai arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk tim monitoring untuk memastikan dampak pembangunan PLTA Batang Toru terhadap populasi orangutan dan satwa liar lainnya," kata Fitri.

Baca juga: Kaji komprehensif pembangunan di hutan Batang Toru

Baca juga: Pemerintah minta Amdal PLTA Batang Toru diperbaiki

Baca juga: Potensi "bio-bridge" Orangutan Tapanuli terancam kehadiran PLTA


 

Pewarta: Munawar Mandailing
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019