Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Sundoyo mengatakan Rancangan Undangan-Undang (RUU) Kesehatan Omnibuslaw mengadopsi ketentuan seputar aborsi atau tindakan menggugurkan kandungan bagi korban kekerasan seksual hingga perdagangan manusia.

"Kesehatan reproduksi dalam darft RUU Kesehatan bukan cuma soal umur kehamilan, tapi juga aborsi. Sesuai di UU Kesehatan eksisting pasal 75, aborsi karena ada indikasi medis dan korban perkosaan yang menimbulkan beban psikologis," kata Sundoyo dalam agenda pertemuan dengan 38 organisasi profesi pendukung RUU Kesehatan di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta selatan, Rabu.

Ia mengatakan dalam Pasal 42 RUU Kesehatan, aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 14 pekan, dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis. Sementara pada aturan eksisting, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan sebelum kehamilan berumur 6 pekan.

Hal lain seputar kesehatan reproduksi yang diatur dalam RUU Kesehatan adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang harus bisa dilindungi haknya oleh pasal-pasal dalam RUU Kesehatan, termasuk pasal mengenai aborsi.

"Saat ini ada juga korban penjualan orang, itu sudah diatur dalam KUHP. Ini kami coba masukan dalam RUU Kesehatan karena lebih maju untuk menangkap hal demikian," ujarnya.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Publik terbuka evaluasi RUU Kesehatan

Dalam acara yang sama, Perwakilan Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Igna mengapresiasi revisi RUU Kesehatan untuk transformasi sistem kesehatan.

"Organisasi kami menyoroti terkait pasal aborsi, di mana kami mengapresiasi bahwa ada peningkatan usia kehamilan menjadi 14 pekan bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang menyebabkan kehamilan," katanya.

Ia mengatakan risiko negatif bagi kesehatan dari praktik aborsi meningkat sesuai pertambahan usia kehamilan.

"Salah satu tantangan di Indonesia masih dipakainya kuret tajam sebagai metode untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang sudah sejak 2011 dan tidak direkomendasikan oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) dan WHO," katanya.

IPAS mendorong Kemenkes untuk mengubah kuretase tajam berdasarkan pedoman nasional pascakeguguran ke metode yang direkomendasikan WHO.

Pada 2018, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) sudah membuat Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) keguguran yang diterima oleh kemenkes untuk mengubah dari kuret tajam menjadi metode yang direkomendasikan oleh WHO," katanya.

Sejumlah metode pengganti yang dianjurkan adalah surgical dan obat yang berisiko kematian di bawah 1 persen jika ditangani tenaga medis terlatih.

"Perlu dipastikan siapa petugas kesehatan yang punya kewenangan dan kompetensi untuk memberikan layanan, perlindungan bagi pemberi layanan perlu jelas di dalam RUU Kesehatan pastikan semua dalam konteks layanan bagi korban kekerasan dan perkosaan," katanya.

Baca juga: Komisi IX: RUU Kesehatan lahirkan sistem pelayanan lebih baik

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023