Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) mengingatkan Bank Dunia untuk tidak memberikan keterangan yang dibuat-buat atau asal-asalan mengenai masalah prosedur ekspor di Indonesia, misalnya dengan mengatakan bahwa biaya ekspor bagi tiap peti kemas dari Indonesia lebih mahal jika dibanding dengan negara-negara lain. "Jangan memberikan keterangan yang dibuat-buat untuk menjelek-jelekkan Indonesia," kata Ketua Umum GPEI, Amirudin Saud, kepada ANTARA di Jakarta, Kamis, saat dimintai tanggapannya tentang laporan Bank Dunia yang berjudul" Doing Business" tahun 2007. Hasil survei Bank Dunia tersebut menyebutkan bahwa biaya ekspor setiap kontainer dari Indonesia bisa mencapai 667 dolar AS. jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia serta Singapura. Bank Dunia menyebutkan jika biaya ekspor per kontainer dari Indonesia mencapai 667 dolar, maka di Brunei hanya 515 dolar, Malaysia 432 dolar, Singapura 416 dolar, serta China yang hanya 390 dolar per kontainer. "Bank Dunia itu tahu tidak sih bahwa pendekatan atau sistem yang digunakan Indonesia adalah FIB (free on board), sehingga yang dibayar eksportir hanya biaya mengangkut container dari dermaga ke atas kapal. Biaya yang lainnya menjadi tanggung jawab pembeli," kata Amirudin dengan nada gemas. Ia mengemukakan biaya pengangkutan kontainer ke kapal hanya berkisar antara Rp275.000 hingga Rp300.000/ kontainer atau hanya sekitar 30 dolar AS. Karena itu, GPEI mengingatkan Bank Dunia serta lembaga-lembaga lainnya untuk minta keterangan GPEI ataupun GINSI yang juga dipimpin Amirudin apabila ingin mengetahui keadaan di lapangan yang sebenarnya, sebab para pengurus asosiasilah yang mengerti keadaan di lapangan yang sesungguhnya. Laporan Bank Dunia juga menyebutkan bahwa prosedur pengurusan barang ekspor dari Indonesia lebih lama jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Amirudin mengatakan pemerintah Indonesia memberi prioritas tinggi bagi pengiriman barang ke negara-negara lain, karena pemerintah sangat membutuhkan devisa yang dihasilkan barang ekspor tersebut. "Jika ada eksportir ingin mengirimkan barangnya maka pengiriman barang itu bisa dilakukan hanya beberapa jam sebelum kapal itu berangkat. Sedangkan berbagai dokumennya bisa diurus belakangan," kata Amirudin yang sudah puluhan tahun menangani masalah ekspor dan impor. Ia mengatakan pula di bidang impor, banyak petugas Ditjen Bea Cukai yang masih terlalu merasa curiga terhadap barang yang masuk dari luar negeri sehingga mereka membiasakan diri untuk memeriksa seluruh barang itu secara fisik.. "Bea Cukai masih terlalu curiga sehingga seluruh barang diperiksa secara fisik," kata Amirudin yang telah lebih dari 20 tahun juga menjadi Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia atau GINSI. (*)

Copyright © ANTARA 2007