Jakarta (ANTARA) - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)  mendukung pelaksanaan Pemilihan Umum 2019, baik pemilihan umum presiden maupun pemilihan umum legislatif yang aman dan damai. 

"Kami juga berbicara mengenai dukungan semua umat kristiani untuk menyukseskan Pemilu  2019 yaitu pilpres dan pileg," kata kata Ketua PGI, Pendeta Hendriette Hutabarat Lebang, usai pertemuan Presiden Jokowi dengan pengurus PGI di Istana Merdeka Jakarta,  Selasa.

PGI berharap Pemilu 2019 yang merupakan pesta demokrasi setiap lima tahun,  dapat berlangsung dengan damai.

"Setiap warga negara mesti ikut bersama-sama  bertanggung jawab dan kita sama-sama datang ke TPS untuk menentukan pemimpin kita di masa depan yang akan membawa bangsa kita ke arah damai sejahtera, ke arah yang lebih baik bagi segenap warga masyarakat," katanya. 

Menurut Hendriette, Presiden Jokowi sangat gembira dengan upaya positif yang dilakukan PGI.

Ia menyebutkan semua pihak harus saling menghargai walaupun pilihan politiknya berbeda. "Kita harapkan semua merayakan pesta demokrasi itu dengan jujur dan tulus, demi kemaslahatan rakyat," katanya. 

Sementara itu Sekretaris Umum PGI, Pendeta Gomar Goeltom MTh, mengatakan, PGI secara khusus mengeluarkan imbauan termasuk melalui surat pastoral supaya warga gereja ikut aktif menjadi pemilih. 

"Tidak ada seorang pun yang menjadi golput. Itu imbauan kita. Dan kalau berpegian hendaknya mengurus formulir A5. Dan kalau berlibur, berliburlah sesudah mencoblos pada 17 April 2019," katanya.

Dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi,  PGI juga menyampaikan harapan dan aspirasi dari masyarakat dan gereja di Papua untuk menciptakan suasana damai do daerah itu. 

"Akhiri segala bentuk kekerasan, pertikaian dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua," katanya. 

Menurut dia, Presiden menampung aspirasi itu dan akan mengedapankan pendekatan-pendekatan kultural untuk persoalan di Papua.

Sementara itu menanggapi ada pemindahan makam karena beda agama, Gomar mengatakan, intoleransi memang masih terjadi. 

"Tapi ini buah perjalanan panjang dari pembiaran yang terlalu lama dari kelompok kelompok intoleran yang berlangsung selama ini di negara ini," katanya. 

Namun ia tendensinya menurun belakangan ini. Bahwa ada pemindahan makam yang terjadi di beberapa tempat seperti di Gorontalo dan tempat-tempat lain, motifnya lebih karena pilkada atau pemilu. 

"Jadi tidak semua kasus yg terjadi belakangan ini murni karena intoletansi agama tapi juga karena pilihan politik. Saya pikir kita juga aware soal ini sehingga tidak menyamaratakan segala kasus yang ada," katanya.  

Secara umum PGI menilai tidak ada penambahan signifikan kasus-kasus intolerensi seperti penutupan rumah ibadah. Yang ada masih efek kasus-kasus lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.

Sementara itu menanggapi rekomendasi NU mengenai larangan penyebutan kafir, Ketua PGI menghargai keputusan itu sebab  penyebutan kafir tehadap seseorang atau sekelompok orang itu dapat mengganggu persaudaraan. 

Menurut PGI,  dari kata itu ada kecenderungan melihat orang lain sebagai orang asing, bahkan sebagai didiskriminasi, bahkan sering kali menjadi stigma. 

"Dengan menghindari kata yang sudah punya beban begitu berat dan dapat memecah belah bangsa, saya kira ini perkembangan yang harus kita sambut dengan baik," kata dia.

Pewarta: Agus Salim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019