Jakarta (ANTARA News) - Saham Yayasan Beasiswa Supersemar milik mantan Presiden Soeharto di sejumlah perusahaan mencapai Rp34,53 miliar. Dalam berkas jawaban tim kuasa hukum Soeharto yang diterima ANTARA News, Senin, dinyatakan bahwa saham Yayasan Beasiiswa Supersemar tersebar di enam perusahaan untuk tahun buku 2006. Keenam perusahaan itu adalah PT Bank Muamalat Tbk senilai Rp1,06 miliar dengan deviden Rp94,5 juta, PT Granadi senilai Rp5,6 miliar dengan deviden Rp202,9 juta, PT Wisma Kosgoro senilai Rp3,008 miliar dengan deviden Rp212,5 juta. Selain itu PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk senilai Rp19,49 miliar dengan deviden Rp180,76 juta, PT Indofood Sukses Makmur Tbk senilai Rp1,5 miliar dengan deviden Rp395,25 juta, dan PT Plaza Indonesia Realty Tbk senilai Rp3,85 miliar dengan deviden Rp15 juta. Kuasa hukum Soeharto, M. Assegaf, menegaskan bahwa aliran dana Yayasan Beasiswa Supersemar ke sejumlah perusahaan tidak melanggar hukum karena didasarkan pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Yayasan tersebut. Assegaf mengatakan, aliran dana ke sejumlah perusahaan adalah dalam bentuk pinjaman dan penyertaan saham. Menurut Assegaf, pasal 3 ayat (5) ART Yayasan Beasiswa Supersemar memperbolehkan Yayasan tersebut mengelola dana dengan membeli, memperolah, memindahtangankan atau melepaskan hak, menggadaikan, dan menghapuskan barang bergerak dan tidak bergerak dengan persetujuan ketua Yayasan. Sebelumnya, Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) menyatakan bahwa dana beasiswa yang dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar mengalir ke sejumlah perusahaan milik keluarga dan kroni mantan Presiden Soeharto. Padahal, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya yayasan milik mantan Presiden Soeharto itu harus menyalurkan uang yang diterima untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa. Berdasar catatan JPN, Yayasan Beasiswa Supersemar telah berhasil menghimpun dana sebesar 420 juta dolar Amerika Serikat (AS) dan Rp185,92 miliar. Dana itu digunakan tidak sesuai peruntukannya, dan mengalir ke sejumlah perusahaan, antara lain 125 juta dolar AS ke Bank Duta pada 22 September 1990. Bank Duta juga menerima aliran berikutnya, yaitu sebesar 19,96 juta dolar AS pada 25 September 1990 dan sebesar 275,04 juta dolar AS pada 26 September 1990. Dana beasiswa Supersemar juga mengalir ke PT Sempati Air senilai Rp13,17 miliar dalam kurun waktu antara 23 September 1989 sampai 17 November 1997. Kemudian, dana beasiswa sebesar Rp150 miliar ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti pada 13 November 1995; Rp12,74 miliar ke PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri dalam kurun waktu antara Desember 1982 sampai Mei 1993. Selain itu, JPN menyatakan, Yayasan Beasiswa Supersemar juga mengalirkan dana senilai Rp10 miliar kepada Kelompok Usaha Kosgoro pada 28 Desember 1993. JPN menilai, penyelewengan dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar telah menghambat kesempatan pelajar dan mahasiswa menerima beasiswa, sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan. Hal itu dinilai sebagai kerugian imateriil sebesar Rp10 triliun. Dalam perkara gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar, secara keseluruhan Kejaksaan menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menanggapi hal itu, Assegaf bersikeras bahwa aliran dana dari Yayasan Beasiswa Supersemar tidak melanggar hukum karena telah diatur dalam AD/ART yayasan. "Hubungan hukum yang terjadi antara tergugat II dengan perusahaan-perusahaan tersebut adalah hubungan pinjam-meminjam uang dan penyertaan saham atau penambahan modal, dan bukanlah pemberian dana," katanya menambahkan. Pihak tergugat II yang dimaksudnya adalah Yayasan Beasiswa Supersemar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007