Tokyo (ANTARA News) - Para pekerja Indonesia yang pernah mengikuti program Kenshusei atau pemagangan di Jepang sebetulnya memiliki potensi yang besar sebagai pengusaha, mengingat pengalaman mereka bekerja di perusahaan-perusahaan Negeri Sakura itu. Hal itu disampaikan Dubes RI untuk Jepang, Jusuf Anwar, di Tokyo, Senin, mengomentari masa depan nasib pekerja Indonesia lulusan program magang di Jepang. "Berbeda dengan TKI lainnya, pekerja Indonesia di Jepang umumnya bekerja di sektor ekonomi yang cukup penting dan memiliki nilai tambah bagi perekonomian Jepang, sehingga pengalaman itu dapat menjadi bekal untuk memulai suatu usaha dan bukan saatnya jadi pekerja lagi," ujar mantan menteri keuangan itu. Program kerja magang atau lebih dikenal sebagai Kenshusei merupakan kebijakan pemerintah Jepang untuk menerima pekerja asing. Ketentuan hukum Jepang sendiri melarang keras masuknya pekerja asing yang tidak memiliki keahlian. Menurut Dubes, kesempatan magang di Jepang jangan hanya dijadikan untuk sekedar memperoleh penghasilan semata, mengingat sifatnya yang dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknis bagi para pekerja Indonesia sendiri. Menurutnya, budaya bekerja keras atau etos kerja Jepang semestinya bisa menular ke pekerja Indonesia sehingga bisa lebih produktif dan inovatif, karena telah memahami standar kerja dan kebutuhan Jepang sebagai negara maju. "Berbekal semuanya inilah, lulusan pekerja Jepang memiliki kesempatan besar untuk jadi pengusaha yang sukses," ujarnya. Pemerintah sendiri ujarnya perlu terus menciptakan suasana kondusif yang lebih berpihak kepada usaha kecil dan menengah serta membantu secara lebih nyata kepada pekerja yang memang sudah diketahui memiliki jiwa kewirausahaan. Apalagi usaha kecil dan menengah terbukti mampu bertahan di tengah tekanan krisis ekonomi. "Kalau mereka diarahkan jadi wirausawan bisa sukses. Tentu saja dilengkapi dengan berbagai atmosfir yang membantunya bisa berkembang. Pada akhirnya akan mendorong sektor riil bisa bergerak lebih cepat lagi," katanya. Bidang kerja Pekerja Indonesia menempati urutan nomor dua terbesar pekerja asing di Jepang, setelah China. Melalui program "trainee" tersebut, rata-rata sekitar 5.000 TKI setiap tahunnya datang ke Jepang dengan masa kerja tiga tahun. Pekerja Indonesia banyak dipekerjakan di tujuh bidang pekerjaan, yaitu pertanian, perikanan, konstruksi, industri pengolahan makanan, industri tekstil, industri mesin dan barang logam dan di bidang furniture. Penghasilan yang diterima bervariasi (tergantung sektornya), rata-rata menerima uang saku sebesar 60.000 yen hingga 80.000 yen di tahun pertama. Sedangkan tahun berikutnya rata-rata gaji yang diterima berkisar 90.000 yen hingga 100.000 yen. Belum lagi bila mengambil lembur yang bisa memperoleh tambahan sekitar 65.000 yen. Sejak tahun 1992 hingga 2006, jumlah TKI jebolan Jepang sebanyak 75 ribu orang yang selama ini dikelola tiga organisasi penyalur tenaga kerja Indonesia, yaitu IMM, JIAEC, dan JAVADA. Namun demikian beberapa persoalan juga menyelimuti para peserta Kenshusei itu, seperti penempatan kerja lebih banyak ditentukan perusahaan, ketimbang minat yang dimiliki TKI, gaji yang tidak mengalami perubahan dalam 15 tahun belakangan. Hal lainnya yang merepotkan adalah tindakan sebagian TKI yang kabur dari perusahaannya dan menjadi TKI gelap (overstay) karena tergiur penghasilan yang lebih besar, sehingga membuat Indonesia masuk dalam urutan tujuh besar negara pelanggar imigrasi Jepang. (*)

Copyright © ANTARA 2007