Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung merasa yakin penyidikan kasus penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina terus mengalami kemajuan, terutama apabila dikaitkan dengan keterangan sejumlah saksi. "Semua saksi mendukung kita," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, M Salim, Kamis. Salim menegaskan, berdasarkan diskusi tentang keterangan saksi, tim penyidik yakin penyidikan kasus itu akan mengalami kemajuan. Kondisi itu, katanya, memantapkan tim penyidik untuk terus maju. "Semakin lama pemeriksaan ini, ternyata dari diskusi kemarin, semakin memantapkan kita untuk maju terus," kata Salim. Tim penyidik menetapkan 43 saksi untuk keperluan penyidikan kasus VLCC yang menyeret para mantan petinggi Pertamina sebagai tersangka. Para tersangka itu adalah mantan Komisaris Utama Pertamina Laksamana Sukardi, mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone dan mantan Dirut Pertamina Arifi Nawawi. Terkait permohonan Laksamana untuk menghadirkan saksi meringankan, M Salim menegaskan Kejaksaan Agung tidak berkewajiban menghadirkan saksi-saksi tersebut. "Bukan kewajiban kejaksaan untuk menghadirkan," kata Salim. Namun demikian, Kejaksaan Agung akan tetap memberi kesempatan para tersangka untuk menghadirkan saksi meringankan, setelah pemeriksaan oleh tim penyidik dirasa cukup. Kemudian, Kejaksaan Agung akan melakukan pemanggilan. Seperti diberitakan, Laksamana berencana menghadirkan sejumlah saksi meringankan, termasuk mantan Menteri Keuangan Boediono dan sejumlah ahli hukum dan perbankan. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007