Jakarta (ANTARA) - Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), seperti panas bumi mendapat respon yang positif dari dunia internasional, hal ini dibuktikan dengan banyaknya akses-akses keuangan yang ditawarkan kepada pihak Indonesia.

"Kementerian Keuangan bisa membantu untuk akses terhadap berbagai financing international yang available untuk renewable terutama geothermal yang luar biasa besar," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menyaksikan penandatangan kerjasama antara Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Geo Dipa Energy (Persero), Kamis.

Sri Mulyani menambahkan, dalam menyediakan energi perlu juga diperhatikan aspek keberlanjutan dalam memproduksi jumlah energi yang semakin meningkat, karena selain demand juga disebutkan bahwa Indonesia disebutkan salah satu negara yang ikut menandatangani Paris Agreement dalam rangka untuk mengurangi emisi karbon, dan Indonesia juga termasuk negara yang ikut mendukung tercapainya sustainable development goals dimana baik dari sisi aspek akses listrik atau energi dan juga aspek untuk memerangi masalah perubahan iklim itu menjadi suatu komitmen yang tidak terpisahkan.

"Pemanfaatan renewable energy seperti, hydro, angin, merupakan potensi-potensi yang sangat penting yang bisa kita gali sehingga suatu saat Indonesia akan tumbuh dan memiliki produksi listrik dengan kapasitas yang besar. We growth creating pressured neraca perdagangan dengan oil impor yang besar, dan itu kita bisa produksi secara sustainable dan aman oleh sumber daya energy kita sendiri terutama yang sifatnya renewable," jelas Sri Mulyani.

Pada kesempatan yang sama, mewakili Menteri ESDM Ignasius Jonan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi (EBTKE) Sutijastoto secara teknis menjelaskan tentang dampak polusi yang dikeluarkan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTS) yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pembangkit lain.

"Panas bumi merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Menurut International Energy Agency (IEA) panas bumi hanya menghasilkan emisi Co2 sekitar 75 gram per Kwh lebih rendah jika dibandingkan dengan emisi Co2 dari BBM yang 10 kali lipat lebih tinggi yaitu 772 gram per Kwh, apalagi dibandingkan dengan emisi Co2 yang dihasilkan dari PLTU batubara yang mencapai yang 955 gram per Kwh," jelas Sutijastoto.

Ditambahkan Sutijastoto, "PLTP juga lebih efisien karena dapat dioperasikan hingga 90 persen dari kapasitasnya dan waktu operasi yang mencapai hingga 30 tahun, sedangkan pembangkit listrik batubara kapasitasnya hanya 80 persen dari kapasitas dan pembangkit diesel kapasitasnya 30-80 persen dan usia peralatan 10-20 tahun."

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019