Brisbane (ANTARA News) - Sebanyak 201 nelayan Indonesia ditahan Australia di pusat penahanan (detention center) Darwin, Northern Territory (NT), karena dituduh menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu, kata Sekretaris I/ Pensosbud Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar, Kamis. "Sesuai dengan catatan KRI Darwin hingga 28 November 2007, jumlah nelayan kita yang sudah ditahan di pusat penahanan itu mencapai 129 orang. Jumlah mereka dipastikan meningkat menjadi 201 orang dengan datangnya 72 awak dari delapan kapal yang beberapa hari ini ditangkap kapal patroli Australia," katanya. Kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Buchari mengatakan di antara para nelayan itu ditahan dengan tuduhan penangkapan teripang, hewan laut yang dilindungi di Australia, karena ditemukan 1,1 ton teripang, peralatan selam dan alat tangkap teripang di atas perahu-perahu mereka. Sebelumnya, kantor bea cukai Australia (ACS) menyebutkan dalam empat hari terakhir ini, dua kapal patroli ACS, yakni "Triton dan Arnhem Bay", telah menangkap 118 nelayan Indonesia dari 12 kapal yang memasuki melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara Australia. Aksi penangkapan itu didukung pesawat pengintai "Coastwatch Dash 8" yang ditugaskan kantor Komando Perlindungan Perbatasan (BPC). Penangkapan terhadap 118 nelayan Indonesia dalam empat hari terakhir memperpanjang deretan kasus "illegal fishing" di Australia setelah pada 21 November lalu, sebanyak 16 orang dari keluarga nelayan asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga memasuki perairan utara negara itu. Kasus 16 orang, termasuk 10 anak, yang memasuki perairan utara Australia dengan perahu bermotor yang tenggelam di Laut Timor dan kemudian berhasil diselamatkan kapal patroli AL Australia, masih ditangani pihak imigrasi di Pulau Christmas, Australia Barat. Tumpas pencurian ABC menyebutkan para nelayan dari Pulau Rote termasuk nelayan asing yang terkena dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan pencurian ikan. Namun, Menteri Perikanan Australia Eric Abetz (semasa pemerintahan PM John Howard-red.) menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia dalam menumpas kegiatan "illegal fishing". Abetz mengatakan bukan urusan dia jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumber daya perikanan Australia. Pemerintah Australia menggelontorkan dana 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu, kata Abetz, telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen. Terkait dengan hak-hak tradisional nelayan Indonesia, pemerintah kedua negara telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke "Ashmore Islands" pada November 1974. Sesuai dengan kesepakatan yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah sejak berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. Beberapa waktu lalu, Peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia yang juga mantan Dirjen "WorldFish Center", Dr. Meryl J. Williams, dalam laporan studinya yang dipublikasi Lembaga Kajian Kebijakan Internasional, Lowy Institute, merekomendasikan kepada Australia untuk melakukan perubahan yang tepat terhadap pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia terhadap sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU Box 1974. Williams juga meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisian pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU Box 1974 itu. Bagi Australia, Indonesia adalah raksasa di sektor perikanan namun sumber daya perikanan lautnya sudah hampir sepenuhnya dieksploitasi secara berlebihan, kata Meryl J.Williams. Australia memberikan perhatian pada masalah perikanan dalam hubungan bilateralnya dengan Indonesia karena adanya isu pencurian ikan, pengelolaan ikan tuna, stok ikan yang berbagi, dan perdagangan ikan, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007