Jakarta (ANTARA News) - Rupiah pekan depan diperkirakan bertahan pada kisaran antara Rp9.350 hingga Rp9.400 per dolar AS, karena bila melemah di atas Rp9.400 Bank Indonesia (BI) akan memasuki pasar untuk mengawal mata uang lokal tersebut dengan melepas dolar. "Peran BI di pasar memberikan dukungan positif terhadap rupiah sehingga kurs mata uang lokal akan dipertahankan masih berada dalam kisaran cukup aman antara Rp9.350 sampai Rp9.400 per dolar AS," kata Pengamat Pasar Uang, Edwin Sinaga, di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak hanya memfokuskan perhatian terhadap gejolak harga minyak mentah dunia yang memberi dampak terpuruknya rupiah, meski kenaikan harga minyak mentah itu diperkirakan akan berlangsung lama. Pemerintah, lanjut dia, seharusnya bisa mengatasi gejolak kenaikan harga minyak dengan memperkuat produk primer yang memberikan devisa cukup besar dan memperbesar sektor pertambangan lainnya, sehingga arus dana keluar untuk subsidi minyak mentah dapat dikurangi dari sektor tersebut. Harga minyak mentah dunia sempat mencapai 99,10 dolar AS per barel dan diperkirakan bisa naik lagi hingga menyentuh level 100 dolar AS. "Kalau hanya mengatasi gejolak, tanpa berpikir produk primer unggulan lain, bisa jadi dolar ke luar. Rupiah kemungkinan akan tertekan kembali hingga di atas level Rp9.400 per dolar AS. Di sini BI harus sigap masuk pasar untuk menahan pelemahan rupiah," katanya. Risiko terburuk, lanjutnya, mata uang rupiah akan bisa menembus level Rp9.500 per dolar AS, apabila BI sudah tidak dapat menahan gejolak pasar dunia yang semakin kuat. Namun masih ada isu positif yang mendukung rupiah, utamanya rencana bank sentral AS (The Fed) yang akan menurunkan suku bunga Fedfund untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang semakin melambat. The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunganya sebesar antara 25-50 basis poin. "Kami memperkirakan penurunan bunga The Fed hanya akan menahan penurunan rupiah untuk sementara saja, namun berikutnya mata uang lokal itu bisa tertekan lagi," katanya. Apalagi, lanjut dia, citra memegang dolar AS di Indonesia masih tinggi dan kebutuhan terhadap dolar AS oleh BUMN juga tinggi dalam upaya mengimpor minyak mentah itu. Selain itu, Bank Indonesia juga kesulitan untuk menurunkan suku bunganya yang pada akhir tahun ini yang diperkirakan akan berada di level delapan persen, karena tingkat inflasi tinggi hampir tujuh persen. (*)

Copyright © ANTARA 2007