Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi menilai kebijakan ekspor bawang merah merupakan langkah yang keliru karena komoditas itu malah menyumbang inflasi pada bulan April 2019.

Fithra dalam pernyataan yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat (3/5), mengatakan laju inflasi itu memperlihatkan adanya kelangkaan bawang merah sehingga harganya mengalami penaikan.

Pengajar FEB Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa penyiagaan stok dalam negeri untuk komoditas pangan seharusnya lebih diutamakan jelang bulan puasa dan Lebaran.

"Logika awam saja seharusnya ditahan dahulu agar stok dari kelebihan produksi bisa menahan volatilitas harga pada bulan puasa," kata Fithra.

Ia mengkhawatirkan harga bawang merah akan kembali meningkat karena tingginya permintaan dari masyarakat pada bulan Mei 2019.

"Bisa jadi karena datanya salah hitung, atau memang sudah tahu datanya tetap memaksakan juga untuk ekspor," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Divisi Pergudangan, Persediaan dan Angkutan Perum Bulog Mokhamad Suyamto memandang perlu stok cadangan bawang merah di Indonesia.

Ia menyakini stok cadangan ini bisa membuat pemerintah mudah dalam mengawasi pergerakan harga komoditas pangan utama agar tidak mengalami kenaikan dan menyumbang inflasi.

"Selayaknya semua komoditas, ada cadangan pangan pemerintah. Tapi untuk bawang merah belum ada," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian pada akhir Maret 2019 memutuskan untuk ekspor bawang merah sebanyak 70.000 ton ke enam negara, termasuk ke Thailand dan India.

Meski demikian, pasokan dalam negeri yang terbatas menyebabkan terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga bawang merah di berbagai daerah.

BPS mencatat bawang merah menjadi komoditas yang memberikan sumbangan inflasi tinggi pada bulan April 2019 dengan andil 0,13 persen, diikuti bawang putih 0,09 persen, cabai merah 0,07 persen, dan tarif angkutan udara 0,03 persen.

Pewarta: Satyagraha
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019