Banda Aceh (ANTARA News) - Komite Peralihan Aceh (KPA) menilai Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias tidak efektif melaksanakan tugasnya pasca-tsunami dan keberadaan lembaga itu hanya melahirkan kelompok orang kaya baru (OKB). "Dalam pandangan kami, BRR tidak bekerja efektif. Lembaga itu telah menyimpang jauh dari niat semula untuk menyelesaikan persoalan tsunami. Yang terjadi kemudian BRR menjadi ajang mendapatkan penghasilan besar bagi banyak pihak," kata Juru bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin, menanggapi tiga tahun tsunami di Banda Aceh, Selasa. Disebutkan, menjelang masa berakhir tugas mereka, banyak korban tsunami masih tinggal di barak, banyak program masih tidak efektif mengakhiri efek tsunami dan penderitaan korban. Anehnya anggaran yang terserap untuk publik jauh lebih kecil dari anggaran rutin mereka. "Banyak pekerjaan terbengkalai. Ini menunjukkan pengawasan mereka sangat lemah. Tidak aneh kemudian di Aceh lahir kelompok orang kaya baru yang bekerja di BRR," ujarnya. Ia berharap lembaga itu segera berakhir dan menyerahkan sisa pekerjaan mereka kepada sebuah badan baru yang lebih efektif dan kredibel, atau kepada Pemerintah Aceh dengan titik fokus di kabupaten kota masing-masing sehingga rehab rekon bisa selesai. Soal pemberdayaan ekonomi, Ibrahim menilai belum signifikan menghasilkan sesuatu yang berkesinambungan. Aceh belum mempunyai sebuah titik fokus penyelesaian pengangguran dan pemberdayaan ekonomi korban tsunami dan korban konflik. Yang terjadi kemudian, lanjut Ibrahim, di Aceh telah melahirkan sebuah kelompok masyarakat seperti ayam Ras, karena pemberdayaan ekonomi lebih banyak berpola bantuan langsung, sehingga ada ketakutan baru akan terjadi tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap bantuan. "Ini akan menjadi bom waktu bagi Pemerintah Aceh ke depan, karena setelah tidak ada bantuan lagi, maka masyarakat tidk bisa mandiri dan akhirnya akan melakukan tindakan kriminal dan terjadi pengangguran besar-besaran," katanya. Sementara itu, korban tsunami juga menilai BRR telah gagal menangani korban tsunami, karena selama tiga tahun pascamusibah tersebut, ribuan korban masih menempati barak dan rumah hunian sementara. "Kita tidak memungkiri ada program BRR yang berhasil, tapi saya lihat banyak juga kegagalannya karena seperti kami ini hingga tiga tahun pascatsunami masih tinggal di barak," kata salah seorang korban tsunami yang masih tinggal di barak Lhong Raya Banda Aceh, Andi Mansur. Menurut Andi, banyak program BRR yang tidak tepat sasaran, seperti mensponsori perlombaan layangan dan lain sebagainya, padahal menurut dia, tugas utama badan tersebut memperbaiki dan membangun kembali tempat tinggal mereka. "Kalau mereka mau fokus, dalam waktu setahun sudah cukup untuk menyelesaikan pembangunan perumahan. Tapi mereka banyak mensponsori kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan tugas mereka. Balap motor, lomba layangan, seminar, segala macam untuk apa itu semua, sedangkan kami sekarang masih di barak," katanya. Dia mengharapkan BRR segera menyelesaikan pembangunan rumah bagi korban tsunami, terlebih lagi BRR tidak memiliki banyak waktu karena tugasnya akan berakhir pada April 2009. Andi yang juga koordinator barak Lhong Raya mengatakan, hingga saat ini masih sekitar 130 kepala keluarga (KK) lagi yang menetap di 37 barak huntara (hunian sementara) Lhong Raya yang sebagian besar berstatus penyewa. Menurut dia, BRR belum menyelesaikan pembebasan tanah untuk membangun perumahan yang akan dibangun sebuah lembaga asing padahal telah dijanjikan sejak setahun terakhir sehingga mereka terpaksa tetap bertahan di barak. Ditambahkannya, pekan depan barak yang telah ditempati hampir tiga tahun pascatsunami itu akan dibongkar dan mereka akan dipindahkan ke barak huntara lain. "Jadi kami ini pindah dari barak ke barak bukan ke rumah," tambahnya. Hardiansyah, penghuni barak Ulee Lheue mengaku terpaksa tetap bertahan di barak karena rumah yang dibangun tidak sesuai harapan sebab jaraknya jauh dari laut yang merupakan lahan mereka mencari nafkah sebagai nelayan. Puluhan ribu korban tsunami di Aceh terutama yang berstatus penyewa hingga saat ini masih tinggal di barak huntara dan rumah sementara, padahal gelombang tsunami yang menerjang pada 26 Desember 2004 telah tiga tahun berlalu.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007