Jakarta (ANTARA News) - Kesuksesan Pemerintah Indonesia mengawal lahirnya "Peta Jalan Bali", suatu agenda ambisius menuju bumi yang lebih baik, menjadi penutup yang manis serangkaian sepak terjang Indonesia di kancah internasional satu tahun terakhir. Setelah sempat mengalami kebuntuan karena alotnya perundingan akibat tarik ulur kepentingan antara negara maju dan negara berkembang, sehingga sidang molor satu hari dari jadwal semula, akhirnya "Peta Jalan Bali" dapat "diamini" oleh seluruh negara, termasuk AS, yang bersikukuh tidak menginginkan target mengikat penurunan emisi. Keberhasilan "Peta Jalan Bali" mewadahi seluruh negara di dunia dalam satu payung kesepakatan mengenai upaya mengatasi perubahan iklim pasca-periode pertama Protokol Kyoto bagaimanapun juga tidak dapat dipisahkan dari kegigihan RI selaku Presiden COP-13 dan tuan rumah. Tepukan tangan panjang penanda kata sepakat dari seluruh delegasi sidang pleno COP-13, Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, dua pekan lalu, membuktikan peran RI di kancah internasional itu. Pidato singkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon terus mengawal UNFCCC, dinilai telah memberikan suntikan moral dan memecahkan kebuntuan perundingan. Namun kesuksesan UNFCCC bukan satu-satunya keberhasilan pemerintah RI sepanjang tahun ini, yang boleh jadi disebut sebagai tahun tersibuk dalam politik luar negeri RI, terutama dengan terpilihnya RI sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB. Beberapa di antaranya bahkan merupakan suatu pencapaian yang cukup "menjanjikan" dalam politik luar negeri bebas aktif RI, yang sempat meredup seiring meredupnya Gerakan NonBlok. Di awal tahun, 3-4 April 2007, didorong oleh semangat persaudaraan dan keprihatinan mendalam atas konflik kemanusiaan tak berujung di Irak sejak pendudukan AS pada 2003, pemerintah RI berupaya menyatukan para tokoh Irak di Bogor. Ketika Presiden AS George W Bush dalam pidato awal tahunnya memutuskan untuk menambah jumlah pasukan di Irak guna meredakan konflik berkepanjangan antara kelompok Sunni dan Syiah yang telah menelan korban jiwa ribuan warga sipil, Pemerintah Indonesia mengajak para ulama Muslim Irak untuk duduk satu meja di Istana Bogor yang sejuk. Konferensi Internasional Para Pemimpin Umat Islam Untuk Rekonsiliasi Irak, yang melibatkan kelompok Sunni-Syiah internasional dari 8 negara, yaitu Iran, Mesir, Jordania, Malaysia, Lebanon, Pakistan, Suriah, dan Indonesia serta perwakilan dari OKI itu menghasilkan sebuah tim kecil yang akan menyosialisasikan langkah-langkah penarikan pasukan koalisi pimpinan AS dari negeri 1001 malam itu. Pada awal tahun, pemerintah RI juga mengajukan empat pasal perubahan dalam resolusi DK PBB No.1747 tentang program nuklir Iran yang salah satunya meminta dicantumkannya Timur Tengah sebagai zona bebas nuklir. Sekalipun keputusan RI untuk menyetujui resolusi No.1747 itu memancing pro dan kontra di dalam negeri tapi keberhasilan memasukkan empat pasal perubahan dalam resolusi No.1747 dipandang sebagai satu langkah maju untuk meluaskan isu, agar dunia tidak melupakan isu nuklir menahun Israel. Dalam bantahannya atas kritik sejumlah tokoh di DPR yang menyebut pemerintah RI berpihak kepada kepentingan Barat ketika memutuskan untuk mendukung resolusi No.1747, Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda menegaskan bahwa dukungan atas resolusi No.1747 bukan berarti tidak mencerminkan solidaritas dengan negara Arab ataupun negara berkembang. "Lihat saja posisi Qatar...dan bagaimana negara-negara Arab juga gerah dengan isu itu. ...Afrika Selatan sebagai mantan Ketua Gerakan NonBlok juga mencoba konsultasi dengan Iran untuk menemukan jalan tengah," katanya. Menurut Hassan, dukungan RI atas resolusi No.1747 adalah bagian dari upaya persuasif menyelesaikan isu nuklir Iran secara damai, meminta Iran bekerja sama secara terbuka dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Selain isu nuklir, pada 2007 pemerintah RI sengaja fokus pada upaya penyelesaian isu-isu perdamaian dan keamanan internasional, terutama konflik besar dan menahun seperti di Darfur, Kosovo, dan Palestina. Posisi Indonesia di berbagai organ dunia menjadi pijakan kuat untuk menggalang negara-negara sehaluan dalam mendorong multilateralisme. Bahkan RI secara tegas telah menyatakan bahwa perdamaian di Timur Tengah khususnya Palestina menjadi agenda prioritasnya sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan pemerintah RI sepanjang tahun untuk menggagas perdamaian di Palestina demi menyelamatkan jutaan rakyat sipil yang tidak berdosa, termasuk mengundang para tokoh utama Hamas dan Fatah --dua kelompok yang bertikai di Palestina-- ke Jakarta. Salah satu yang terbaru adalah keterlibatan RI dalam Konferensi Annapolis --dimana Palestina dan Israel duduk satu meja-- November lalu. Di dalam negeri keputusan RI untuk menghadiri Konferensi Annapolis juga memancing pro-kontra karena sejumlah pihak menilai kehadiran RI di Annapolis merupakan salah satu sinyal dukungan RI terhadap keberadaan Israel --yang secara tegas ditolak Hamas dan Iran. Terhadap kritikan itu, Hassan mengatakan bahwa sudah terlalu banyak nyawa melayang dalam konflik menahun Israel-Palestina sehingga penyelesaian konflik menggunakan aksi kekerasan hanya akan membawa lebih banyak korban jiwa. Pada pertengahan tahun, RI juga menunjukkan sikap tegasnya ketika menolak rancangan resolusi DK PBB untuk Myanmar dengan alasan bahwa kasus Myanmar tidak mengancam perdamaian dunia dan lebih cocok untuk dibahas dalam Dewan HAM PBB. Di tingkat hubungan dwi-pihak pada awal 2007, pemerintah RI juga menjadi tuan rumah pertemuan komisi bersama RI-Myanmar. Dalam pertemuan itu Myanmar kembali menegaskan mengenai janjinya untuk memenuhi jadwal peta jalan menuju demokrasi yang telah ditetapkannya. Dan di penghujung 2007 ini, Myanmar memenuhi janjinya untuk segera menyetujui sebuah konstitusi baru, sekalipun sempat dinodai oleh aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah dalam menghalau unjuk rasa para biksu. Kedekatan hubungan RI-Myanmar sebagai sesama anggota ASEAN memang menjadi salah satu faktor penting guna mendorong proses demokrasi di negeri itu. "Kedekatan" dan "kebersamaan" itu pulalah yang menjadi kunci sukses ASEAN menggolkan Piagam ASEAN pada ulang tahunnya yang ke-40 tahun ini. Piagam yang membawa negara-negara ASEAN satu langkah lebih maju karena mengakomodasi usulan RI untuk pembentukan suatu Badan HAM ASEAN. Pendekatan "Soft Power" Pergerakan aktif RI dari satu meja perundingan ke meja perundingan yang lain sepanjang 2007 sejalan dengan slogan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berupaya mengusung diplomasi lunak --"soft power diplomacy". Dalam berbagai kesempatan Presiden Yudhoyono selalu mengatakan bahwa banyak persoalan di dunia yang dapat diselesaikan dengan "soft power" dan bukan dengan "hard power". "Soft power" yang dimaksudkan adalah melalui dialog, komunikasi, pendekatan budaya, persuasi dan lain-lain. Menurut Kepala Negara, jika hal itu menjadi semangat semua bangsa di dunia maka akan banyak masalah-masalah kemanusiaan yang dapat dipecahkan dengan baik karena berbeda dengan "hard power" yang menimbulkan aneka benturan, "soft power" justru membuka jaringan. Diplomasi lunak itu juga dinilai lebih cocok dengan politik luar negeri bebas aktif RI karena rekam jejak perjalanan RI --sejak niat luhur RI menghapus penjajahan di Asia Afrika dalam Konferensi Asia Afrika 1955-- memang "jauh" dari kekuatan militer. Energi positif yang dihasilkan dari diplomasi lunak itu diharapkan tidak hanya mampu membawa kedamaian di dunia internasional tapi juga meningkatkan kesejahteraan di dalam negeri. Terkait dengan diplomasi lunak yang coba dikembangkan pemerintah RI, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Hariyadi Wiryawan menilai kekuatan diplomasi lunak Indonesia belum sepenuhnya tertempa. "Pengejawantahannya masih susah, dan belum sepenuhnya terlihat ...padahal kalau mau mengedepankan `soft power` harus serius," katanya. Dia menilai Indonesia bahkan belum cukup kuat dalam memanfaatkan dua kekuatan diplomasi lunak yaitu olah raga dan budaya. "Kita masih tertinggal dari negara lain, bahkan dari negara-negara tetangga kita," katanya. Namun, secara keseluruhan menurut Hariyadi, pemerintah RI mencatat sukses dalam satu tahun terakhir di forum internasional. Sikap RI dalam kasus nuklir Iran, perdamaian Timur Tengah dan isu perubahan iklim menunjukkan arti penting suara RI di dunia internasional. Hariyadi juga menilai, pemerintah RI cukup "dewasa" ketika mengatasi sejumlah perselisihan dengan beberapa negara tetangga --Malaysia, Singapura, Australia-- sehingga riak-riak perbedaan itu tidak meledak menjadi konflik besar. Namun sekalipun secara keseluruhan sepak terjang RI cukup menonjol sepanjang 2007, menurut Hariyadi belum maksimal. "Ada skala optimal-maksimal, nah kita sudah melakukannya dengan optimal tapi belum maksimal," ujarnya. Hariyadi mengatakan, dalam sejumlah isu-isu tradisional seperti pembalakan liar dan perdagangan manusia, sikap RI belum sepenuhnya tercitrakan. "Pada isu-isu tersebut, pemerintah masih harus bekerja keras," katanya. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa pemerintah di masa mendatang hendaknya lebih fokus untuk menyelesaikan akar permasalahan sejumlah perselisihan dengan negara-negara tetangga yang terletak di dalam negeri. "Misal, kita ribut-ribut tentang klaim budaya RI oleh Malaysia namun tidak pernah menyadari kalau selama ini tidak juga berbuat apa-apa untuk melestarikan atau menambah nilai jual budaya itu," ujarnya. "Hal-hal seperti itu yang sering membuat citra kita tidak mulus di dunia internasional," tegasnya. Politik Mercu suar Pemerintah RI tampaknya memang sukses menorehkan banyak keberhasilan di kancah internasional sepanjang 2007, namun sayangnya sedikit sekali hasil dari capaian itu yang memiliki manfaat langsung bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan politik luar negeri RI tampak bagai "mercu suar" yang berdiri tegak menjulang di lautan permasalahan Indonesia. Diplomasi "cantik" yang dimainkan oleh pemerintah RI dan segala keuntungan politis yang diperoleh dari hubungan baik dengan banyak negara di dunia belum dapat diterjemahkan secara tepat guna mendongkrak perekonomian dalam negeri. "Indonesia kurang dapat mengambil manfaat dari hubungan dwipihak yang telah terjalin baik," kata Hariyadi. Menurut dia, sepak terjang Indonesia sepanjang 2007 yang cukup gemilang dalam politik internasional tidak diiringi dengan keberhasilan memanfaatkan "kedekatan" politis menjadi ekonomi. "Kita kurang sigap menangkap peluang bisnis. Indonesia teringgal jauh dari negara-negara tetangga dalam hal ini," ujarnya. Dia kemudian mencontohkan bagaimana Singapura dan Malaysia dapat memiliki hubungan dagang yang jauh lebih baik dengan sejumlah negara di dunia dibandingkan Indonesia sekalipun secara politis Indonesia lebih berpengaruh. Kenyataan itu tentu saja cukup ironis mengingat Indonesia telah mencurahkan banyak pikiran dan tenaga untuk turut mencari penyelesaian bagi sejumlah isu internasional. Upaya untuk menerjemahkan "kedekatan politis" menjadi "kedekatan ekonomi" tampaknya masih akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di tahun mendatang. Pemerintah harus lebih dapat menggandeng para pengusaha. "Bayangkan kalau semua negara yang memiliki hubungan politik baik dengan RI juga adalah mitra dagang penting," katanya. Hal senada juga dilontarkan oleh Direktur Urusan Afrika Departemen Luar Negeri RI Sudirman Haseng. Menurut dia, Afrika adalah sebuah pasar yang cukup potensial bagi Indonesia, namun hanya sedikit pengusaha Indonesia yang tertarik mengembangkan peluang usaha ke benua hitam itu. "Pasarnya ada, dan peluangnya cukup terbuka, jadi pemerintah akan memfasilitasi para pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di Afrika," katanya. Sudirman menjelaskan, sudah saatnya para pengusaha Indonesia menengok pasar Afrika yang cukup menjanjikan, jangan lagi terpaku pada citra lama mengenai Afrika yang miskin dan terbelakang. "Banyak negara lain juga mencoba menangkap peluang ini, Indonesia jangan ketinggalan," katanya. Indonesia memang jangan ketinggalan, jangan pula sibuk menggagas perdamaian dunia tanpa menyelesaikan isu di dalam negeri. Bagaimanapun juga tanpa kekuatan di dalam negeri, lambat laun ketangguhan di tingkat internasional dapat runtuh juga. Membumikan kebijakan luar negeri RI adalah tantangan pemerintah Indonesia di masa mendatang. (*)

Copyright © ANTARA 2007