Jakarta (ANTARA News) - Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani mengungkapkan, penurunan bea masuk (BM) impor kedelai belum cukup untuk menurunkan harga kedelai yang naik hingga 100 persen, namun upaya tersebut dianggap respon positif dari pemerintah. "Mana mungkin harganya yang naik mendekati 110 persen, ditangani hanya dengan menurunkan 10 persen? jelas tidak. Tapi artinya pemerintah bukannya tidak berbuat apa-apa," kata Franky di Jakarta, Selasa. Dia menambahkan, pemerintah diharapkan juga memperbaiki sisi modal industri UKM yang menggunakan bahan dasar kedelai, dengan menyediakan kredit murah. "Kredit untuk rakyat yang dulu dicanangkan presiden masih belum berjalan," katanya. Menurutnya, untuk saat ini, yang dilakukan pengusaha adalah menurunkan (scale down) produksi hingga separuh dari kapasitas produksi awal. Bahkan, tambahnya, pihaknya menengarai adanya protes dari beberapa daerah yang menggunakan tempe atau tahu sebagai pelengkap utama makanan pokok mereka akibat ketiadaan dua jenis makanan tersebut. "Ada beberapa yang merasa belum makan, jika belum makan tempe dan tahu, seperti Semarang dan Yogyakarta," katanya. Ditambahkannya, jika sebelumnya pengusaha tempe dan tahu berdemo memprotes kenaikan harga bahan baku utama mereka, kacang kedelai, maka bukan tidak mungkin nantinya konsumen tempe dan tahu ikut berdemo hingga ke Istana Merdeka. Senada dengan Franky, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengatakan, upaya pemerintah menurunkan harga dengan membebaskan BM impor kedelai akan sia-sia karena kenaikan harga yang terlalu besar untuk dikompensasi. "10 persen tidak akan banyak membantu," katanya. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah memutuskan untuk menurunkan bea masuk impor kedelai hingga nol persen untuk mengatasi lonjakan harga yang dipicu oleh naiknya harga kedelai impor hingga 100 persen. Sejak 1998, impor kedelai Indonesia terus meningkat seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk membuka kran impor, sementara luas areal penanaman makin merosot. Impor kedelai yang hanya tercatat 394 ribu ton pada 1998 melonjak menjadi 1,3 juta ton pada 1999 dan pada 2005 hingga 2006 impor rata-rata mencapai 1,2 juta ton. Produktivitas kedelai lokal juga masih rendah rata-rata 1,3 ton per hektare, sementara rata-rata produktivitas dunia lebih dari 2 ton per hektare. Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada 1992 dengan produksi sekitar 1,8 juta ton. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008