Semarang (ANTARA News) - Impor kedelai Jawa Tengah selama 3 tahun belakangan ini terus meningkat, yakni pada tahun 2005 mencapai 196.766 ton, tahun 2006 (332.705 ton), dan tahun 2007 menembus angka 358.036 ton. Anggota Komisi B DPRD Jateng Fatria Rahmadi di Semarang, Selasa, mengatakan, jumlah kedelai yang didatangkan dari luar negeri tersebut untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Jateng karena produksi kedelai lokal tak mencukupi. Ia mengakui, jumlah produksi kedelai di Jateng terus merosot, yakni pada tahun 2005 mencapai sebesar 167.107 ton, 2006 (132,261 ton), dan 2007 (119.932 ton). Padahal kebutuhan kedelai di Jateng terus meningkat. "Kebutuhan kedelai di Jateng pada tahun 2005 mencapai 348.834 ton, tahun 2006 (453.062 ton), dan tahun 2007 (467.174 ton)," kata anggota dewan dari komisi yang membidangi perekonomian dan perdagangan itu. Seperti diberitakan, pemerintah melalui Menteri Perdagangan akhirnya membebaskan bea masuk kedelai, menyusul naiknya harga kedelai impor dari 300 dolar AS per ton menjadi 600 dolar AS per ton. Pembebasan bea masuk impor kedelai ini akan ditandatangani 21 Januari 2008 mendatang. Setelah bea masuk dibebaskan, diperkirakan harga kedelai di tingkat gudang importir akan menjadi sekitar Rp5.987,00/kg dan sampai di konsumen sekitar Rp6.000,00/kg. "Kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk impor kedelai hingga 0 persen dari semula 10 persen merupakan keputusan yang sangat pragmatis," katanya. "Untuk jangka pendek memang bisa sedikit menurunkan harga. Namun hal itu akan memberi efek yang sangat negatif dalam jangka panjang. Pemerintah sepertinya kehabisan akal dan mengambil kebijakan jalan pintas yang sangat memukul petani," katanya. Ia mengatakan, dari sebanyak 92.000 unit industri yang menggunakan bahan baku kedelai di Indonesia, sebanyak 39 persen di antaranya berada di Jateng, Jatim (22 persen), Jabar (13 persen), Yogyakarta (8,5 persen), sisanya berada di Kalimantan, dan Sumatra. Komposisinya produsen tempe 56 ribu unit, tahu 28 ribu unit, kecap 1.500 unit, dan tauco 2.100 unit. Fatria menilai, kebijakan yang diambil pemerintah sebagai akibat lemahnya keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap petani dan pelaku usaha kecil. Politik yang cenderung mengabaikan petani dan pelaku usaha kecil, telah mengakibatkan segala sesuatu bergantung pada impor. Pemerintah seharusnya bisa memprediksi dan mengantisipasi kenaikan harga kedelai melalui kebijakan peningkatan produksi kedelai dalam negeri dan sekaligus melindungi petani melalui instrumen stabilisasi harga pascapanen dan sistem tata niaga yang sehat dan adil. "Dengan kebijakan itu, katanya, petani termotivasi kembali untuk menanam kedelai yang pada gilirannya akan menjamin kebutuhan pasokan dalam negeri," katanya. Di Kota Semarang, kenaikan harga kedelai yang tak terkendali hingga 100 persen yang mencapai Rp7.500,00 per kg membuat usaha makanan rakyat ini banyak yang gulung tikar karena untuk menaikkan harga yang terlalu tinggi, tentunya bukan perkara yang mudah. Pengusaha tahu tempe di sentra Tandang Jomblang Semarang Warsino (65) mengaku tak mungkin melakukan mogok kerja terkait kenaikan harga bahan baku. "Kasihan semua karyawan saya kalau berhenti produksi. Mereka mau makan apa. Kita memang telah dihubungi rekan dari Jakarta untuk mogok, tetapi kita masih bisa cari solusi terbaik tanpa mengorbankan karyawan," katanya. Pada awal bulan Januari 2007, harga eceran kedelai telah mencapai Rp3.450,00 per kg. Namun pada awal bulan November 2007, harga kedelai mencapai Rp5.450,00 per kg, dan bulan Desember 2007 harga komoditi ini menjadi Rp6.950,00 per kg. Bahkan, awal Januari 2008, harga kedelai menjadi Rp.7.250 per kg dan terus naik setiap harinya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008