Brisbane (ANTARA News) - Australia menikmati keuntungan besar sekali dari kawasan Asia Tenggara yang semakin lama semakin makmur serta stabil dan kondisi regional yang baik ini merupakan warisan presiden kedua RI, Soeharto, kata seorang akademisi Australia. "Australia beruntung besar sekali gara-gara pengaruh Soeharto. Karena pengaruh Soeharto, kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) semakin lama semakin makmur dan stabil. Ini adalah warisan Soeharto," kata Indonesianis ANU, Dr.Hal Hill. Dalam wawancara via teleponnya dengan ANTARA, Selasa (15/1), pakar ekonomi Indonesia di Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU) itu mengatakan, kawasan ASEAN yang lebih stabil itu telah memunculkan negara-negara tetangga Australia yang lebih makmur. "Australia sangat beruntung ada tetangga-tetangga yang lebih makmur walaupun terkadang ada masalah dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia selama masa 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Masalah itu unavoidable (tak terhindarkan)," katanya. Masalah perbedaan di antara kedua negara dan bangsa bertetangga ini bukanlah merupakan "kesalahan Soeharto" selaku presiden saat itu karena Australia dan Indonesia sejak awal memiliki perbedaan sosial, budaya, ekonomi dan sistim politik, katanya. "Jadi saya kira bukan tanggung jawab Soeharto sendiri. Tapi big picture (gambaran besar)-nya, Australia sangat beruntung. Pak Harto terakhir ke Australia pada tahun 1975 tapi setelah 1975 dia tidak lagi pernah ke Australia," kata Hal Hill. Peneliti senior masalah ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara dan merupakan pengasuh Buletin Studi Ekonomi Indonesia (BIES) itu menduga keengganan Soeharto untuk kembali mengunjungi Australia adalah karena ingin menghindari protes atau demonstrasi saja. Sosok "Feodal" Menjawab pertanyaan tentang apakah penilaian sementara pihak bahwa penguasa Orde Baru itu merupakan sosok pemimpin yang feodal, ia mengatakan, Soeharto memang "sedikit feodal" namun sangat berbeda dengan sosok raja-raja Jawa dulu. "Perbedaan antara Soeharto dengan raja-raja Jawa dulu adalah dalam soal pembangunan negeri yang cepat sekali. Di era feodal dulu (sebelum Soeharto-red), rakyat tidak maju tapi di era Soeharto, rakyat maju kecuali aktivis kiri banyak yang ditangkap tapi rakyat maju dibawah Soeharto," katanya. Bagi orang Australia seperti dirinya, yang juga menarik dari masalah Soeharto setelah ia dipaksa lengser dari kekuasaannya adalah dia tidak lari ke luar negeri seperti para pemimpin otoriter negara-negara lain seperti Ferdinand Marcos (Filipina) atau Mabuto (Kongo), kata Hal Hill. "Untuk Indonesia, itu (fenomena Marcos dan Mabuto-red) tidak terjadi dan Soeharto tetap tinggal di Indonesia tanpa gangguan. Ini menarik dan ini berangkali merupakan bagian dari kekuatan masyarakat Indonesia walaupun selama masa pemerintahannya ada juga masalah pelanggaran hak azasi manusia," katanya. Ulah Anaknya Akademisi Australia yang sudah menulis dan mengedit 12 buah buku dan menulis 110 karya tulis akademis dan bab buku ini berpendapat Soeharto yang sebenarnya hidupnya justru cukup sederhana harus jatuh akibat ulah anak-anaknya. "Saya kira Pak Harto dijatuhkan oleh anak-anaknya sendiri. Sayang sekali dia gagal mengontrol kemauan anak-anaknya," kata penulis buku "Indonesia`s Industrial Transformation" (1997) itu. Dalam pandangan Hal Hill, sejarah perjalanan karir politik Soeharto sangat menarik karena pada tahun 1950-an, menurut ahli sejarah, hampir tidak ada orang yang berpikir bahwa Soeharto akan menjadi presiden kedua RI menggantikan Soekarno. Bagi rakyat Indonesia yang mementingkan kecukupan pangan (perut) dan kesempatan kerja, penilaian mereka tentang Soeharto bisa jadi lebih positif dibandingkan penilaian kelompok kelas menengah Indonesia yang dulu menuntut kebebasan politik, katanya. Pendapat Hal Hill tentang Soeharto terutama bagaimana kondisi hubungan Indonesia-Australia selama 32 tahun masa pemerintahannya sejalan dengan pandangan Indonesianis ANU lainnya, Greg Fealy. Menurut Greg Fealy yang dihubungi secara terpisah, lebih banyak hal-hal positif daripada negatif dalam hubungan kedua negara selama masa Orde Baru. Terlepas dari tetap adanya ketegangan terkait dengan isu Timor Timur dan laporan media massa Australia tentang Soeharto, semua pemerintahan Australia tetap melihat Soeharto sebagai sosok pemimpin Indonesia yang "terlalu western (barat)". Soeharto juga dipandang Canberra sebagai sosok yang "anti komunis dan berjasa menstabilisasi Indonesia". "Dari segi itu, saya kira mereka (Australia) sangat bersyukur bahwa Soeharto menjadi presiden Indonesia," katanya. Dibandingkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Greg Fealy mengatakan, Australia memandang keduanya memiliki sejumlah kesamaan, seperti sama-sama "development-minded" (mementingkan pembangunan), ingin memajukan ekonomi dan pro Barat. "Yang tak kalah pentingnya adalah seperti halnya Soeharto, SBY juga mementingkan stabilitas negara. Saya kira aspek-aspek itu sangat dihargai Pemerintah Australia selama ini," kata Indonesianis yang merampungkan pendidikan doktoralnya di Universitas Monash dengan disertasi tentang studi partai Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU) itu. Soeharto menjadi pusat perhatian rakyat Indonesia maupun dunia setelah ia kembali menghuni ruang "president suite" Nomor 536 di lantai lima gedung RSPP pada 4 Januari 2008 sekitar pukul 14.15 WIB akibat penyakit yang dideritanya. Tim dokter yang merawatnya antara lain menemukan adanya penurunan kadar haemoglobin darah dan tekanan darah turun serta terjadinya penimbunan cairan (oedema). Sejak lengser dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, pemimpin yang lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini telah beberapa kali dirawat di rumah sakit karena beragam penyakit, seperti pendarahan usus, jantung, dan paru-paru. Dia pernah dirawat di RSPP pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan. Setelah itu, ia kembali masuk rumah sakit yang sama pada tahun 2000, 2001, 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008