Bogor (ANTARA News) - Indonesia bisa mencapai swasembada kedelai pada 2015 melalui "Soybean Estate System" (SES) dengan dukungan insentif pemerintah. Gagasan dan optimisme mengenai SES diungkapkan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc dalam diskusi di Kampus IPB, Darmaga, Bogor, Kamis. SES, kata dia, merupakan sistem produksi dan konsumsi yang terintegrasi dalam satu hamparan produksi dan komunitas konsumen, yang didukung pemerintah dan didampingi oleh perguruan tinggi. "Sistem ini melibatkan kelompok-kelompok tani dalam satu wilayah tertentu yang akan memasok kedelai sesuai dengan kebutuhan di wilayah tersebut," katanya. Melalui wadah koperasi, petani dan pelaku industri berbasis kedelai bisa menghitung permintaan di wilayah mereka dan menyeimbangkannya dengan pasok kedelai. Sementara itu, lanjut dia, IPB akan melakukan pendampingan dari segi aplikasi teknologi dan pemerintah memberikan insentif kepada petani diantaranya berupa kredit murah sarana pertanian. Agar lebih efisien, sistem ini setidaknya mencakup wilayah seluas 400 hektar yang terdiri dari kluster-kluster petani. "Jadi lahan penanaman kedelai terpisah-pisah. Kita mengumpulkan saja petani kedelai yang sudah ada untuk bergabung dalam kluster," katanya. Dengan sistem SES, diharapkan pemberian kredit ataupun subsidi pemerintah bisa lebih tepat sasaran, tambahnya. Selain itu, sistem tersebut juga akan menjawab keluhan pedagang mengenai tingginya biaya transportasi dan hambatan birokrasi termasuk pungutan-pungutan, yang menyebabkan tingginya harga kedelai lokal. "Dalam sistem ini, produksi kedelai hanya untuk memasok kebutuhan di wilayah tersebut sehingga biaya transportasi bisa ditekan dan terhindar dari pungutan-pungutan," katanya. Dengan kata lain, masing-masing wilayah SES akan memproduksi kedelai hanya untuk memenuhi kebutuhan di wilayah tersebut. "Jadi pedagang di Bogor tidak perlu membeli kedelai dari Lampung misalnya, karena kebutuhan mereka sudah tercukupi dari petani terdekat," katanya. Dana riset Rektor IPB juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan dana pengembangan riset sehingga hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi bisa diaplikasikan ke masyarakat. Ia mengakui IPB menghadapi kendala keterbatasan dana untuk melakukan uji multi-lokasi untuk hasil riset mengenai varietas kedelai, sehingga sampai saat ini hasil penelitian tersebut belum bisa diaplikasikan di lapangan. "IPB yang memiliki dana penelitian terbatas perlu dibantu pemerintah untuk mengembangkan galur-galur kedelainya, sehingga bisa menjadi varietas unggul yang siap disebarkan di masyarakat," katanya. Selain itu, juga diperlukan keterlibatan swasta untuk menanami areal hutan tanaman industri secara tumpangsari dengan memanfaatkan dana CSR (corporate social responsibility), kata dia. Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Dr Sony Suharsono, mengatakan IPB telah memiliki 20 galur kedelai dengan produktivitas hingga 3 ton per hektar. "Namun sebelum dilepas ke petani, harus ada uji multi lokasi di delapan lokasi selama dua musim tanam. Dana untuk uji ini tidak ada," katanya. Kedelai hasil persilangan antara varietas lokal Slamet dan varietas dari Thailand tersebut menyerupai biji kedelai impor, biji besar, hylum (tempat menempelnya biji) berwarna terang, dan tahan asam serta Aluminium tinggi. (*)

Copyright © ANTARA 2008