Jakarta (ANTARA News) - Kasus hukum Presiden RI Periode 1966-1998, HM Soeharto, tidak lagi dapat di-"deponeering" atau dikesampingkan, karena perkara sudah masuk ke proses pengadilan, kata mantan Jaksa Agung (Jakgung), Abdul Rahman Saleh. Dalam dialog bertema "Penyelesaian Perkara Mantan Presiden Soeharto dalam Perspektif Hukum dan Politik", di Jakarta, Senin, ia menyebutkan, ada tiga alasan yang membuat langkah "deponeering" tidak dapat dilakukan. Pertama, katanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, "deponeering" hanya dikeluarkan dengan alasan kepetingan umum (kepentingan bangsa dan negara, atau kepentingan masyarakat luas). Kedua, ujarnya, "deponeering" tidak berbicara mengenai pembuktiaan. Dalam "deponeering", maka perkara dikesampingkan bukan karena buktinya lemah dan tidak lengkap, tetapi lantaran untuk kepentingan umum, maka sebuah perkara bisa dikesampingkan meski bukti-bukti cukup kuat. Ketiga, menurut dia, "deponeering" tidak bisa dilakukan karena langkah tersebut, hanya bisa ditempuh jika perkara terkait belum memasuki tahap penuntutan. "Dalam kasus Soeharto, perkara sudah masuk ke proses pengadilan sehingga tidak mungkin deponeering ditempuh," ujarnya. "In absentia" Abdul Rahman Saleh menilai bahwa untuk sidang "in absentia" juga tidak dapat diterapkan dalam kasus hukum Soeharto. Ia menjelaskan, "in absentia" bisa diterapkan, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah. Sementara itu, ia mengemukakan, dalam kasus hukum Soeharto, alasan tidak hadir di persidangan adalah alasan sah yang dikemukakan oleh tim independen yang ditunjuk oleh penegak hukum. Dua tim dokter independen yang memeriksa kesehatan Soeharto memberikan kesimpulan yang tidak jauh beda, yakni Soeharto secara medis baik dari segi fisik maupun mental, dalam keadaan tidak laik untuk disidangkan. Akibat kondisi sakit permanen yang menyebabkan Soeharto tidak mungkin dihadirkan ke persidangan, ia mengemukakan bahwa saat dirinya menjabat Jaksa Agung akhirya memutuskan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKPPP). SKPPP merupakan pilihan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan Ketetapan MPR Nomor 11 tahun 1998 tentang keharusan mengusut kasus korupsi Soeharto. Namun, Abdul Rahman Saleh menegaskan bahwa SKPPP bukan merupakan bentuk penghapusan penuntutan ataupun pengampunan, dan tidak menghalangi perkara dibuka dan dilanjutkan kembali. "Pasal 140 ayat (2) d KUHAP memungkinkan penuntut umum membuka kembali perkara yang sudah dihentikan penuntutannya. Apabila, di kemudian hari ditemukan alasan baru, misalnya tim dokter menyatakan Soeharto telah sembuh," katanya. Sedangkan, ia mengemukakan, terkait proses perdata bahwa prosesnya tidak terkait dengan sakitnya Soeharto, karena memang tidak mensyaratkan kehadiran terdakwa di persidangan. Proses perdata juga dapat terus dilanjutkan meskipun, Soeharto telah meninggal dunia, karena gugatan dapat dialihkan kepada para ahli warisnya. "Perdata tidak ada batas waktu, mau didamaikan sekarang boleh, dengan ahli waris juga boleh. Ada waktu berpikir luas, tidak terburu-buru, dan tidak berpengaruh dengan sakitnya Soeharto," demikian A. Rahman Saleh. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008