Jakarta (ANTARA News) - Para praktisi hukum dan pengamat sependapat bahwa mantan Presiden RI HM. Soeharto sudah tidak dapat lagi diadili secara hukum, baik pidana maupun perdatanya. Pendapat itu merupakan rangkuman pendapat dari para praktisi hukum seperti, Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, OC Kaligis, Prof. M. Assegaf, Dr. Muhammad Mustafa, dan Kriminolog, Mulyana W. Kusumah dan pengamat politik dari UGM, Muhammad Fajrul Falaakh, dalam diskusi publik yang diadakan Seven Strategi Studies/SSS di Jakarta, Senin. Menurut Abdul Rahman Saleh, kasus HM. Soeharto, baik dalam perdata maupun pidana, sesungguhnya sudah final dengan keluarnya Putusan Pengadilan, Mahkamah Agung, yang menyebutkan, HM. Soeharto tidak dapat disidangkan karena sakit secara permanen. Tiga kewenangan kejaksaan adalah, menerbitkan Surat Pemberhentian Perkara/SP3, deponeering sebagai hak oportunitas Jaksa Agung dan menerbitkan SKP3/Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan. "Ketika itu, saya sebagai Jaksa Agung tepatnya pada 12 Mei 2006 memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, untuk mengeluarkan SKPPP," katanya, seraya menambahkan, perintah itu untuk memberikan kepastian hukum kepada mantan Presiden Soeharto. SP3 atau SKPPP dikeluarkan oleh Kejaksaan, kemudian digugat dan dipraperadilankan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pengadilan Memenangkan gugatan itu. Setelah itu para pengacaranya Soeharto melakukan banding dan dimenangkan, sampai ke tingkat Mahkamah Agung, karena Soeharto dinyatakan tidak dapat lagi dilakukan pemeriksaan. OC. Kaligis juga menyatakan, ketika Pak Harto masih sehat dan dipanggil pihak pengadilan, dia menjawab semua pertanyaan itu, antara lain menyebutkan, semua yang dilakukan itu tidak ada satu pun Keputusan Presiden yang bertentangan dengan Undang-undang atau melampaui dari UU, karena sebelum ditandatagani, sudah melewati tahapan pembahasan oleh para menteri atau departemen terkait. Oleh karena itu, kata OC.Kaligis, dalam hal kasus pidana, HM. Soeharto sudah dinyatakan final, sedang untuk perdata sesungguhnya tidak ada yang dilanggar karena untuk yayasan itu yang bertanggung jawab semestinya para pengurusnya juga wajib bertanggung jawab. "Semua asset yang terkait dengan beberapa yayasan, sudah diserahkan kepada pemerintah pusat atau kepada pemerintah daerah," kata OC. Kaligis. Sementara itu, Prof. Muhammad Mustofa mengatakan, pelaksanaan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Hukum pidana dan KUH Perdata yang ada di Indonesia adalah warisan dari kolonial. Oleh karena itu, kata Mustofa, janganlah melanggengkan hukum warisan penjajah karena hal itu tidak akan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Soeharto, secara hukum sudah final, tidak dapat diadili, karena adanya penyakit yang permanen, karena itu, sudah sewajarnya, sebagai orang timur dapat memaafkan semua perbuatan yang dianggap salah selama menjabat sebagai presiden. Diskusi dengan tema Dialog Nasional Penyelesaian Perkara Mantan Presiden HM. Soeharto Dalam Perspektif Hukum dan Politik itu, diselenggarakan oleh Center For Law, & Order Studies dengan menggandeng LSM SSS. Hadir dalam diskusi itu antara lain, mantan Ketua Komnas HAM, Letjen Syamsudin, Mantan Menteri Koperasi Subijakto Tjakrawirdaya, dan sejumlah pengacara dan LSM.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008