London (ANTARA News) - Bursa saham Inggris terus berguncang, hanya dalam 14 hari perdagangan sejak awal tahun 2008, menurut Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 perusahaan terkemuka telah kehilangan sebanyak 878,7 poin atau turun sekitar 13,6 persen. Pada sesi pekan silam saja turun 323,5 poin atau sekitar 5,5 persen, sekaligus menandai kejatuhan terbesar semenjak peristiwa serangan teroris 9 September di AS. Pengamat ekonomi Muslimin Anwar kepada ANTARA News di London, Selasa, mengatakan bahwa penurunan tersebut ditandai oleh gagalnya sejumlah saham unggulan di lantai bursa efek London untuk menghapus kerugian menyusul derasnya aksi jual di pasar modal Asia, di tengah ketakutan semakin memburuknya perekonomian AS. Menurut doktor moneter lulusan Brunel University itu, jika dibandingkan pada saat yang sama tahun lalu, maka data dari Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 perusahaan terkemuka di Kerajaan Ratu Elizabeth II, FTSE100 hanya mengalami penurunan sebesar 10,5 persen. Kekhawatiran terus menghinggapi perdagangan pada hari Selasa. Para pialang tak henti-hentinya membicarakan "pembantaian" yang terjadi di London dan memperkirakan kejadian serupa di Wall Street, pada pembukaan Selasa Sore waktu London. Dalam beberapa menit semenjak pembukaan sesi Selasa pagi, FTSE100 telah kehilangan lebih dari 200 poin, semakin menambah tajam penurunan yang terjadi pada sesi hari sebelumnya. FTSE100 hanya berhasil merangkak naik sedikit pada pertengahan pagi Selasa menjelang pukul 10.30 pagi. Itupun hanya naik sekitar 8 poin, atau 0,1 persen pada level 5.586. "Bergerak positif atau tidaknya FTSE100 dan juga pasar saham di daratan Eropa akan sangat bergantung pada apa yang akan terjadi pada saat pembukaan kembali Wall Street Selasa ini," ujar Muslimin Anwar, yang juga ekonom di Bank Indonesia (BI). Bursa di Amerika Serikat (AS) ditutup sampai dengan Senin kemarin karena hari libur memperingati Martin Luther King. "Namun demikian, pasar berjangka sesungguhnya telah memberi isyarat bahwa para pialang akan menghadapi awan mendung sekembalinya mereka dari libur panjang akhir minggu lalu", ujarnya. Hal ini dipicu oleh ketakutan bahwa ekonomi terbesar di dunia yakni AS tengah diambang resesi ekonomi. Selain itu, kekhawatiran akan prospek pasar properti, pemenuhan permintaan bahan baku, daya beli konsumen dan guncangan di pasar keuangan telah menurunkan tingkat keyakinan investor di berbagai sektor, tambahnya. Ia juga memprediksi bahwa Dow Jones cenderung melorot tajam pada pembukaan perdagangannya. Jika hal ini terjadi, maka akan menambah kerugian yang diderita pada akhir minggu lalu dan semakin memperkuat tekanan jual di pasar-pasar lainnya. Selain itu, pasar tengah mengalami ujian berat, khususnya kemungkinan tergelicirnya ekonomi AS yang dapat menyeret ke bawah pertumbuhan ekonomi global. "Tindakan menghindari risiko (risk aversion) semakin meningkat, menyebabkan harga ekuiti terjun bebas," ujar Muslimin. Meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan ongkos tersebut telah dimasukkan dalam penetapan harga saham, ia berpendapat bahwa cukup masuk akal untuk mengasumsikan bahwa ketika resesi AS yang sesungguhnya terjadi, penurunan harga saham nantinya akan singkat dan ringan (mild). Koran lokal Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa para pemburu "bargain" telah mendongkrak harga beberapa saham di London pada Selasa pagi ini. Saham-saham tersebut umumnya adalah yang terkena pukulan drastis Senin lalu sehingga harganya menjadi murah. "Hal ini sepertinya dipicu oleh adanya rumours yang terus berkembang mengenai kemungkinan Federal Reserves kembali menurunkan suku bunganya, jauh lebih awal dari jadwal yang direncanakan pada minggu depan," ujar Muslimin, yang mantan mahasiswa teladan Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Aksi para pemburu "bargain" itu telah menaikkan kembali harga-harga saham tersebut, antara lain saham bank besar sekelas Barclays, Asset Manager Schroders dan perusahaan material bangunan Wolseley. "Kemungkinan tindakan mereka didorong oleh berkembangnya isu mengenai kemungkinan aksi bersama bank-bank sentral, AS, Inggris dan Eropa dalam membantu perekonomian AS jika tingkat kerugian yang dialami AS pada hari Selasa ini semakin parah" ujar Muslimin. Di Inggris kisah pilu pemberi kredit perumahan Northen Rock telah menambah pekat sentimen awan kelabu. Permasalahan itu telah menggerus fungsi intermediasi perbankan ditandai dengan macetnya pasar uang di Inggris atau yang biasa dikenal dengan istilah credit crunch. Peristiwa ini sendiri diawali oleh munculnya permasalahan di pasar sub-prime mortgage AS, pinjaman berisiko tinggi yang diberikan kepada debitur yang memiliki sejarah kredit buruk. Banyak dari pinjaman tersebut yang akhirnya menjadi macet. Permasalahan yang diawali di AS ini telah menjalar ke seluruh pelosok dunia dengan cepat dan bahkan pasar di Asia, termasuk Indonesia, adalah yang paling parah terkena dampaknya pada beberapa hari terakhir ini. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008