Jakarta (ANTARA News) - Film dokumenter "Tumbuh Dalam Badai" karya sutradara IGP Wiranegara diluncurkan di Jakarta, Kamis. Film ini menjadi istimewa dan menyentuh karena menampilkan kesaksian dan perihnya perjalanan hidup anak-anak yang orang tuanya menjadi korban Tragedi Kemanusiaan 1995/1996. Film ini merupakan produksi ketiga Lembaga Kreativitas Kemanusiaan dan memerlukan waktu penggarapan yang cukup panjang, yakni dua tahun. Produser film ini, Putu Oka Sukanta mengungkapkan film ini menampilkan kesaksian anak-anak yang tinggal di Indramayu, Yogyakarta, dan Bali. "Prosesnya memang cukup lama karena film ini digarap dengan biaya yang terbatas. Tapi semangat untuk menyampaikan kebenaran dan idealisme tim kerja membuat film ini akhirnya rampung," katanya. "Tumbuh Dalam Badai" yang durasi 45 menit bercerita tentang beberapa anak yang berjuang hidup dalam tekanan diskriminasi secara struktural karena orang tua mereka diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Diantara mereka adalah perempuan yang seorang dalang dan penari, Wangi Indrya, seniman ketoprak Bondan Nusantara, praktisi Healing Touch Wayan Windra, dan seniman dengan nama samaran Nyoman. "Sejak kecil saya sudah biasa dikucilkan dan dicemooh, awalnya memang sakit sekali hati ini. Tapi ayah saya bilang harus sabar dan bisa menerima keadaan ini," ujar Wangi dalam diskusi usai pemutaran film di Goethe Haus. Pengakuan tragis diungkap Wayan Windra tentang ayahnya yang dituduh sebagai anggota PKI. Ia menceritakan usianya masih kecil ketika pada suatu hari ayahnya diseret keluar dari pura oleh sejumlah pria berseragam tentara. "Ayah saya dibantai beramai-ramai. Peristiwa di desa tempat tinggal saya ini, Bringkit, membuat anak-anak dan ibu-ibu menjadi trauma dan takut," kata Wayan dalam film tersebut. Sementara itu sang sutradara, IGP Wiranegara mengatakan film ini dibuat bukan sebagai ajang untuk mengumbar tangis dan kesedihan lewat kesaksian Wangi atau Wayan. "Film ini dibuat sebagai salah satu cara untuk menyembuhkan luka mereka, menceritakan adalah cara yang baik. Ini adalah film yang semoga dapat mewakili suara hati saudara-saudara kami yang mengalami diskriminasi," ujar Wayan. Film ini memadukan gambar realita tentang kesaksian Wangi dan ketiga kawan senasib dengan gambar ilustrasi yang digarap khusus untuk film ini oleh Gumelar Demokrasno. Sedangkan editing yang sangat halus merupakan hasil kerja editor Sastha Sunu. Kinerjanya dalam film arahan sutradara Nan Achnas berjudul "The Photograph" mendapat penghargaan Editing terpilih dalam Festival Film Jakarta 2007. "Tumbuh Dalam Badai" menelan biaya produksi sekitar Rp60 juta. Film ini diproduksi Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, yakni sebuah kelompok pekerja seni yang berkreasi untuk meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaan dalam mencapai kesetaraan hak dan martabat. Pemutaran perdana film ini ditanggapi positif oleh publik. Seluruh kursi terisi penonton dan bahkan sejumlah penonton harus rela berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Para penonton yang datang sebagian besar adalah para korban Tragedi Kemanusiaan 1965/1966, bekas tahanan politik, hingga anak-anak mereka. Usai menonton, sebuah diskusi digelar dengan dipandu Putu. Narasumber yang hadir dari FISIP Universitas Indonesia Kiky, Wangi, Wiranegara, dan aktivis Hak Asasi Manusia Sandyana Sumardi. Sejumlah penonton juga bergantian menyampaikan pengalamannya sebagai anak-anak yang orang tuanya ditahan dan dibunuh karena dianggap PKI.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008