Jakarta (ANTARA) - DPR RI tidak akan melakukan intervensi (campur tangan) terhadap pengusutan dugaan kasus aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp100 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi sesuai fungsi dan tugasnya, DPR akan mengawasi langkah-langkah yang ditempuh KPK. Pernyataan itu diungkapkan Wakil Komisi III (bidang hukum) DPR RI, Dr Azis Syamsuddin, dalam dialektika demokrasi di Press Room DPR/MPR Jakarta, Jumat. Dialektika juga menghadirkan Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun. Azis Syamsuddin mengemukakan langkah KPK mengusut kasus itu berdasarkan temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK). KPK menempatkan laporan BPK itu sebagai petunjuk adanya dugaan penyimpangan. "Apakah aliran dana itu ada atau tidak. Kalau ada, maka hal itu sebagai fakta hukum, tetapi kalau tidak ada (aliran), persoalan ini hanya sebagai isu politik," katanya. Dia mengatakan, jika fakta hukum ditemukan, maka harus ditemukan fakta lainnya siapa yang memberikan dana itu dan kepada siapa dana itu diberikan serta dalam bentuk apa dana itu dikucurkan. Jika KPK memang menemukan fakta hukum, kata Azis, DPR akan mempersilakan KPK menindaklanjutinya. "Aliran dana itu dalam bentuk apa? Kalau tidak ditemukan fakta hukum, tentu saja untuk apa diteruskan," katanya. Azis mengemukakan, berdasarkan informasi yang dimilikinya, dugaan kucuran dana sebesar Rp100 miliar itu merupakan pinjaman yang harus dikembalikan dalam kurun waktu lima tahun, tiga tahun dan ada yang harus dikembalikan selama dua tahun. "Kalau benar begitu, maka persoalan ini sebenarnya ranah hukum perdata. Tetapi kami persilakan KPK mengusutnya, sepanjang fakta hukum memang ada," katanya. Dia juga menjelaskan, jika memang benar ada pencairan dana itu, maka harus ditemukan fakta hukum bagaimana mekanisme pencairan dan proses pengambilan keputusan atas kebijakan itu. "Apakah proses pencairan dan pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI itu telah sesuai mekanisme resmi? Kalau sudah melalui proses dan mekanisme resmi di BI, maka sudah dianggap sah. Lalu apa yang dianggap melawan hukum? Kalau keputusan diambil secara kolektif oleh Dewan Gubernur apa yang salah?," katanya. Menurut Azis, jika kucuran dana itu memang terbukti ada dan dinilai melanggar hukum, maka kesalahan atau pelanggaran tidak bisa ditanggung hanya oleh satu atau beberapa orang. Kesalahan harus ditanggung oleh semua pihak yang memutuskan kebijakan itu. "Kalau dianggap salah, maka kesalahan harus ditanggung renteng oleh semua yang ikut memutuskan kebijakan itu. Tidak bisa dibebankan kepada satu orang," katanya. Dia mengemukakan, Dewan Gubernur BI bersifat kolegial sehingga akibat dan kesalahannya pun harus ditanggung secara kolektif. "Kalau kesalahan hanya dibebankan satu orang, tentu tidak `fair`," katanya. Gayus Lumbuun juga menjelaskan perihal keputusan Dewan Gubernur BI yang bersifat kolegial. "Jangan-jangan bukan ketua (yang berperan), tetapi ketua hanya menyetujui, ketua hanya mengetok palu karena banyaknya suara yang mendukung kebijakan (mencairkan dana itu) dalam rapat," kata Gayus. Menurut Gayus, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah (yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini oleh KPK) baru menjabat tiga bulan ketika diputuskan adanya dana Rp100 miliar untuk bantuan hukum mantan gubernur dan direktur BI serta untuk diseminasi terkait revisi UU tentang BI. "Jangan-jangan Burhanuddin Abdullah hanya menuruti keinginan forum dalam Rapat Dewan Gubernur karena banyaknya suara yang mendukung (kebijakan itu). Jadi hanya ketok palu saja. Ini harus ditelusuri," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008