Samarinda (ANTARA News) - Tokoh masyarakat Kaltim menilai pers di daerah sering "terjebak" politik praktis dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) langsung, akibat kuatnya pengaruh industrialisasi pada dunia media massa. "Contohnya, menjelang Pilkada gubernur periode 2008-2013 pada Mei tahun ini, kita bisa melihat bagaimana sejumlah media massa terjebak dalam pertarungan para elit politik. Lihat saja, tokoh ini dipuja-puja sedangkan tokoh itu dihujat," kata Aji Sofyan Alex, di Samarinda, Jumat. Mantan salah satu calon walikota Samarinda tersebut mengemukakan hal itu terkait dengan peringatan HPN (Hari Pers Nasional) 9 Februari. Menurut dia, harapan agar pers menjadi salah satu alat perjuangan dengan sikap yang independen kini terkesan kian memudar. "Saat reformasi bergulir, banyak harapan agar pers bisa menjadi alat perjuangan dengan independensinya, khususnya sebagai salah satu penggerak berbagai perubahan ke arah yang lebih baik," katanya. Namun, tambanya, setelah melalui tahap perubahan saat reformasi mulai bergulir sampai kini ternyata belum menunjukkan perubahan yang berarti, malah kian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pers akibat pemberitaan tidak berimbang, mengabaikan fakta serta cenderung "trial by press". "Keperpihakan pers dalam pemberitaan calon-calon kepala daerah telah kian mengikis kepercayaan masyarakat," ujar dia. Sofyan mengaku memiliki pengalaman kurang sedap saat menjadi salah satu calon kepala daerah karena ditawari oleh sebuah media massa untuk berlangganan koran sekian ribu eksemplar agar namanya masuk peringkat utama pada sebuah jajak pendapat di media massa bersangkutan. "Ini juga telah menunjukan bagaimana industrialisasi pers sehingga poling-poling itu telah dijadikan komoditas untuk para calon kepala daerah yang gila popularitas," katanya. Sofyan memaparkan bahwa tidak semua media massa seperti itu karena tetap mengutamakan idealisme, namun sebagian besar telah "menggadaikan" pers sebagai alat kontrol dan alat perjuangan. Padahal, katanya, keberpihakan pers daerah bisa menimbulkan berbagai kerawanan sosial karena bisa memanas-manasi suhu politik yang hangat menjelang Pilkada. "Seharusnya pers itu menjadi penyejuk suasana bukan menjadi bara api yang memanas-manasi suasana politik dengan berita kurang berimbang serta cenderung melakukan trial by press," tambahnya. Oleh sebab itu ia mengimbau agar para pimpinan perusahaan serta pimpinan media massa untuk ikut bertangggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaan bukan hanya sekedar mencari keuntungan ekonomi semata.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008