Jakarta (ANTARA News) - Nahdlatul Ulama (NU) menjalin kerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi sejumlah stasiun televisi "nakal" yang gemar menayangkan tayangan tidak mendidik. Kesepakatan kerja sama tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi dan Ketua KPI Prof Sasa Djuarsa Sendjaja di kantor PBNU, Jakarta, Selasa. Dalam sambutannya, Hasyim menyatakan, aturan tentang pertelevisian dan penyiaran di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Namun, lanjutnya, hal itu belum cukup, harus pula dilakukan pendekatan kebudayaan untuk mengawasi dan mengendalikannya. "Kalau itu persoalannya ekonomi (faktor komersial), masih bisa diatasi. Kalau persoalannya politik, masih bisa dibicarakan. Tapi, kalau masalahnya budaya, tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan legal formal. Harus dilakukan lewat pendekatan budaya. Kita jangan sampai terlambat," katanya. Menurutnya, masyarakat atau penonton yang merupakan konsumen tayangan televisi juga harus dilibatkan dalam gerakan tersebut. Demikian pula sejumlah organisasi kemasyarakatan semacam NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Hasyim juga menilai, saat ini muncul kecenderungan bahwa tayangan televisi yang penontonnya paling banyak, justru yang tidak baik bagi masyarakat. Tayangan tersebut malah tidak memiliki unsur pendidikan dan pencerdasan kepada masyarakat. Melalui kerjasama itu, katanya, NU dan KPI akan melakukan gerakan penyadaran kepada masyarakat tentang baik-buruknya dampak tayangan televisi. Bentuknya, akan segera dilakukan inventarisasi terhadap seluruh tayangan televisi yang dinilai baik untuk masyarakat atau sebaliknya. "Hasil inventarisasi itu akan kita konsultasikan pada pihak-pihak terkait seperti pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, KPI, pihak televisi sendiri, ormas Islam seperti Muhammadiyah, dan lain-lain," katanya. Gerakan itu, kata Hasyim, bukan untuk menghakimi pihak stasiun televisi, melainkan untuk menyelamatkan moral dan budaya generasi bangsa. "Sehingga, nantinya akan saling menguntungkan. Pihak televisi tetap untung tanpa menampilkan tayangan tidak mendidik dan masyarakat juga tidak dirugikan. Moral bangsa tetap terjaga," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008