Oleh Bob Widyahartono MA *) Jakarta (ANTARA News) - Sebagai hasil pemilihan umum (pemilu) beberapa waktu lalu di Korea Selatan (Korsel) muncul tokoh baru, yakni Lee Myung-bak, Ketua Grand National Party yang menang dalam pemilu di negara yang dikenal sebagai Negara Setenang Pagi (The Land of the Morning Calm). Selain mendayung mencari strategi baru dalam politik ke arah penyatuan kembali Korsel dengan Korea Utara (Korut), salah satu janji partainya Lee adalah menggerakkan kembali perekonomiannya (revival) keluar dari kelesuan yang sejak beberapa tahun ini hanya mencapai pertumbuhan sekitar 4,4% . Target pertamanya adalah kembali dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) dalam tahun tahun yang sebesar 7% dan GDP per kapita 24.500 dolar Amerika Serikat (AS). Pelantikan Lee Myung-bak sebagai Presiden memperoleh sambutan ucapan selamat resmi Indonesia dengan kunjungan resmi Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla. Belum banyak publik di negeri ini yang mengetahui bahwa Korea berasal dari dinasti Koryo, dinasti yang berkuasa sekira tahun 935-an dan diperoleh nama Korea. Jauh sebelum semenanjung Korea (Korean Peninsula) terpecah atau dipecah menjadi dua sejak tahun 1945 pasca-Perang Dunia II, sepanjang sejarah sudah berabad-abad lamanya Korea menjadi penghubung antara kebudayaan dari daratan Asia dengan Jepang. Selama berabad abad lalu, para pemimpin agama dan politik melakukan penekanan terhadap bangsa Korea sebagai akibat letak geopolitik Korea yang menjadi jalur utama. Namun, bangsa Korea ditempa sedemikian rupa hingga memiliki kekuatan psikis hahn (released energy) atau elan vital yang mendesak bangsa Korea untuk mengejar pendidikan, kerja keras yang mudah menyesuaikan diri, penuh disiplin dan tekun sampai-sampai melakukan pengorbanan diri demi peningkatan kesejahteraan keluarganya dan pada gilirannya kepada bangsa. Semenanjung Korea setelah Perang Dunia II dipecah sepanjang garis lintang 38 derajat utara menurut perjanjian antara pihak Amerika Serikat (AS) dan Uni Sovyet (waktu itu). Terciptanya garis yang memisah melalui Pamunjong. Secara resmi Korsel terbentuk 15 Agustus 1948. Luas tanah Korsel sekitar 99.000 kilometer persegi, dan hanya sekitar seperempat dari luas tanah yang dapat dihuni. Penduduknya berjumlah sekira 49,1 juta pada 2006. Yang tampak sebagai gaya manajemen perusahaan Korsel, baik yang berskala besar konglomerat atau yang mereka sebut <>i>chaebol maupun yang menengah dan kecil senantiasa mencerminkan nilai dan filosofi dasar yang mereka anut. Secara keseluruhan (on the whole) perusahaan memberi tekanan pada harmoni antar-manusia, rasa menyatu (unity), kerjasama, pengabdian, sikap rajin kerja, orisinalitas dan kreativitas dan mengejar pembangunan pribadi (personal development). Selain itu, dalam ideologi dan sasaran bisnis, kejujuran, kredibilitas, efisiensi dan usaha meningkatkan mutu dan tanggung jawab menjadi acuan setiap karyawan mulai dari yang paling top sampai yang terendah. Riibuan orang Korsel yang menikmati pendidikan di luar negerinya, tetap saja bangsa Korea mencerminkan tradisi dan pembawaan (conditioning) Shamaisme (kepercayaan tradisional), Konfusianisme dan Buddhisme selama ribuan tahun. Yang sangat kuat adalah pengaruh moral dan etika Konfusius dan disusul Buddhisme, kemudian dengan moral dan etika Kristen yang berkembang pula. Hal ini dapat dilihat dari komposisi penduduk Korsel berjumlah 49,1 juta yang sekira 11,7 juta (24,6%) pemeluk agama Buddha, sekira 9,3juta (19,3 %) adalah pemeluk agama Kristen dan mayoritasnya pemeluk Konfusius. Di permukaan, sosok manusia Korsel tampil serius, gesit tidak mengenal lelah dan sikap individualistis dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Ada kemiripannya dengan gurunya, Jepang, yaitu dalam sense of patriotism, orientasi pada prestasi dan harmoni dalam kebersamaan. Memang ada kalangan akademisi maupun pebisnis tidak mau diberi predikat murid atau meniru gaya Jepang. Dalam kebanyakan perusahaan Korsel, keputusan strategis dibuat oleh direksi, termasuk satu atau dua anggota keluarga pemilik sebagai pendiri. Pengaruh Konfusianisme yang mengalir dalam organisasi bisnis bahkan pemerintahan adalah: 1.kesetiaan total pada suatu struktur hierarkis: orang tua, keluarga, klan, komunitas, dan bangsa; 2.patuh kepada orang tua (duty to the parents), yang mencakup kesetiaan, cinta kasih, dan rasa berterima kasih, terutama kepada ibunda, yang biasanya digambarkan sebagai simbol kebajikan, tidak egoisme dan senantiasa berkorban (sacrifice). 3.harmoni dalam dan antar-kelompok, 4.keteladanan pemimpin, 5.nilai nilai moral lebih dihargai daripada kompetensi keahlian saja. Agak berbeda dengan gaya berbisnis Jepang, seringkali antar-karyawan Korsel terdengar ungkapan koenchanayo yang berarti alright, that is good enough, sekalipun belum sesuai hasil yang diharapkan. Secara positif ada maksud untuk toleransi dan menghargai orang lain. Kalau pelaku bisnis Jepang mengejar zero defect dan menerapkan Kaizen atau continuous improvement, maka pihak Korsel lebih toleran pada adanya defect untuk mereka usahakan perbaikannya. Sikap individuaalistis bangsa Korsel dalam berbisnis lebih banyak menonjol. Hal itu disebabkan oleh pergolakan dan tekanan tekanan yang dialami setiap individu dalam lingkungan masyarakat. Di Korsel apa yang disebut job-hopping (pindah-pindah kerja), apalagi yang terhitung terampil (skilled) dapat diterima oleh masyarakat di mana seseorang bermukim. Disiplin dalam masyarakat Korea sangat menonjol. Soalnya, setiap pria harus menurut Undang-Undang (UU) setempat harus masuk wajib militer selama sekitar tiga tahun setelah lulus sekolah lanjutan atas. Setelah tamat mengikuti wajib militer, mereka juga diberi bekal pengetahuan, kursus pendek untuk bisa kembali ke jalur masyarakat sipil, termasuk keuletan bertahan hidup yang keras. Dan, gaya manajemen masih top-down. Dengan bekal semacam itu, maka kecepatan kerja, efisiensi dan biaya tenaga kerja tetap dapat bersaing menghadapi Jepang. Sekalipun tampak perbedaan dalam budaya dan asal usul (heritage) dengan Jepang, tapi terdapat beberapa kesamaan bagi bangsa Korsel, yaitu kondisi keduanya dalam arti kelangkaan Sumber Daya Alam (SDA), wilayah yang sempit, penduduk yang memiliki motivasi untuk belajar dan menggali ilmu pengetahuan dan keterampilan (skill). Kebijakan inudstri yang dianut Korsel benar-benar mengagumkan. Masyarakat dunia bisa menyaksikan bagaimana arah kebijakan itu membawa hasil, sekalipun di sana sini terdapat kelemahan dalam over-investasi oleh para konglomerat. Selain ternyata ada juga yang mengalami kemerosotan, hingga ada sejumlah chaebol sejak tahun 1998 banyak yang harus dipailitkan. Berbagai sektor dalam industri mereka mencuat sebagai akibat agresitivitas dalam menyerap teknologi. Hal ini mereka lakukan dengan bermitra dengan berbagai perusahaan luar negeri. Dalam dekade 1980an, Lucky Goldstar Group bermitra dengan Hitachi (Jepang) dan dengan Siemens Jerman untuk Tele-electric. Goldstar Electric dengan NEC Jepang, dan lainnya. Demikian pula rintisan Samsung dengan Sumitomo. Di sektor otomotif, Hyundai, KIA, dan lainnya. Bermitra secara resmi bagi perusahaan besar Korsel merupakan metode paling nyata (visible) dari perolehan ketrampilan teknologi. Transfer know-how mampu mereka kerjakan karena motivasi Sumber Daya Manusia (SDM)-nya sangat tinggi untuk belajar dan terus belajar. Dalam bidang manajemen teknologi, bahkan pernah terungkap semacam slogan "Kerjakan apa yang pernah dilakukan oleh Jepang, tapi lakukakan dengan biaya lebih murah dan lebih cepat". Antara harapan dan kenyataan senantiasa terdapat kesenjangan (gap). Dan, hal ini yang senantiasa dihadapi setiap bangsa termasuk korea Selatan. Kegagalan berarti mulai lagi dengan semangat baru. Dibandingkan dengan Jepang, berbagai produk otomotif dan elektronika yang menjadi andalan Korsel, harga ekspor maupun yang dirakit di negara tujuan investasi sekitar 20% lebih murah, sekalipun dalam mutu teknologinya masih satu kelas di bawah Jepang. Ketika tahun 1997 terjadi krisis finansial menjadi krisis ekonomi, yang diawali Thailand dan menjalar ke Korsel, Malaysia, Indonesia dan Filipina, ternyata Korsel merupakan korban yang paling parah dari krisis tersebut. Dengan tekad membaja untuk keluar dari krisis ekonomi, maka bangsa Korsel yang saat itu di bawah kepemimpinan Kim Dae Jung dengan membangun common platform bersama pihak oposisi --sekalipun ada perbedaan pendirian dalam mencari pemecahan atau solusi terhadap krisis-- berhasil hanya dalam dua tahun. Dr. Soogil Young dalam Riding the Wave of Globalization: Korea’s Experiences and Lesson for Indonesia (ceramah 21 Juli 2001) sudah jauh-jauh hari memaparkan pengalaman pahit bangsa Korsel ketika menghadapi krisis finansialpada 1997. Sebelum tahun 1997 paradigma pembangunan Korsel sejak 1960-an sampai awal 1990-an yang dianggap oleh berbagai pengamat cukup berhasil, terdiri dari empat pilar: 1.perekonomian yang dimanaje oleh pemerintah (government managed), 2.perekonomian berlandaskan perusahaan nasional (national firm based), 3.perekonomian berlandaskan sumberdaya (resource based) 4.sistem kesejahteraan perusahaan (corporate welfare system). Hal yang dimaksud dengan perekonomian yang dimanajeri pemerintah di Korsel adalah peranan pemerintah dominan dalam alokasi sumber daya untuk pembangunan. Pemerintah memakai lembaga keuangan sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Perekonomian yang berlandaskan perusahaan nasional memberi proteksi pada perusahaan domestik dalam pembangunan teknologi. Dengan alasan ini dikembangkanlah chaebol alias organisasi konglomerasi, yang ternyata beberapa diantaranya tidak mampu mengatasi krisis tahun 1997, sehingga cukup banyak diantaranya diharuskan menyatakan diri palit. Dalam hal perekonoimian berlandaskan sumber daya, pemerintah membuat SDM dan modal tumbuh, serta kurang memfokus pada inovasi dan pertumbuhan teknologi. Sistem kesejahteraan perusahaan mengharuskan perusahaan menyelenggarakan kesejahteraan sosial yang sesungguhnya menjadi tugas pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Ternyata, paradigma pembangunan yang dianut Korsel ada kemiripan dengan Indonesia sebelum krisis 1997, yakni melalui Trilogi Pembangunan Nasional yang mengutamakan "stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan", atau yang dikenal dengan "dampak penetesan pembangunan" (trickle down effect). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Korsel senantiasa tidak mau putus asa, sekalipun banyak tekanan yang dilakukan chaebols yang banyak memiliki posisi monopoli atau oligopoli. Dengan menengok ke belakang, maka tanpa ragu langkah paling utama adalah merespons pada krisis kepemimpinan (leadership crisis) yang langsung diusahakan pemecahannya dengan memilih Kim Dae Jung sebagai pemimpin. Dalam waktu singkat tahun 1999 mampu keluar dari resesi akibat krisis tersebut. Korsel dibawah Kim Dae Jung dikenal tanpa lelah bertekad, sekalipun ada oposisi yang wajar sebagai layaknya dalam demokrasi dan sistem nilai Korea "mendayung di atas gelombang globalisasi" (riding the wave of globalization). Sadar bahwa berada di atas gelombang globalisasi berarti bersama para raksasa, yaitu AS dan Eropa di barat dan di Timur bersama Jepang. Korsel sadar tidak mau terjebak dalam crisis complacency cycle atau siklus puas diri berhasil mengatasi krisis. Korsel memang pernah menerima resep Dana Moneter Internasional (IMF), namun Kim Dae Jung tidak membatasi diri pada resep IMF, tetapi justru melangkah yang lebih strategis dengan menangani krisis struktural dalam empat sektor: 1.Restrukturisasi sektor bisnis, 2.Restrukturisasi sektor finansial/keuangan, 3.Restrukturisasi pasar tenaga kerja, 4. Restrukturisasi sektor publik/pemerintahan. Hal yang menarik adalah ketegasan Kim Dae Jung langsung menangani reformasi bisnis korporat dengan fokus pada chaebols dengan mendesakkan pengelolaan yang bertanggung jawab (corporate governance). Hasil dari ketegasan langkah itu adalah adanya chaebol yang gulung tikar atau dimergedengan lainnya. Obat langsung yang dikerjakan oleh Kim Dae Jung membawa hasil yang mengagumkan, sekalipun di sana sini ada kelemahan. Kim Dae Jung diganti oleh Roh Moo Hyun akhir 2002, dan dasar-dasar reformasi maupun restrukturisasi yang diprakarsai Kim Dae Jung dilanjutkan oleh penerusnya. Keberhasilan mereka terpulang pada elan vital masing-masing individu bangsa Korsel dan peran kepemimpinan yang memiliki tekad good governance yang bukan slogan. Hal itu terbukti dengan dihukumnya putra Presiden Kim yang melanggar hukum lantaran berkorupsi. Supremasi hukum tetap dijunjung. Dengan paradigma baru dalam melangkah internasionalisasi bisnis, yaitu suatu perekonomian berdasarkan pengetahuan (knowledge base economy) dan gairah memberi substansi pada perekonomian kemakmuran (welfare state economy) merupakan strategic intent yang tidak kalah pentingnya. Investasi dalam modal manusia (human capital) dan kembali menyesuaikan diri pada disiplin pasar, serta persaingan internasional/global. Perjalanan transformasi itu tidaklah mudah, tapi hambatan hambatan yang dialami bangsa Korsel sendiri dalam menyesuaikan diri pada kelembagaan dan standar-standar baru. Suatu tantangan baru bagi semua kalangan di Indonesia, termasuk elit birokrasi dan kalangan pebisnis, yakni menyambut secara positif dan professional era baru Korea Selatan ini. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi Studi Pembangunan/Bisnis Asia; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta.

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008