Bandung (ANTARA News) - Seorang kandidat doktor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Ari Junaedi, meneratas penelitian pola komunikasi para pelarian politik (kaum eksil) tragedi 1965 di mancanegara yang saat ini jumlahnya sekitar 1.500 orang. "Pemerintahan silih berganti, namun para eksil itu hingga kini masih hidup tanpa kejelasan status. Mungkinkah Komnas HAM berhasil mengungkap kejelasan terjadinya pelangaran HAM atau hanya menjadi `lips service` saja," kata Ari Junaedi di Bandung, Minggu. Ia mengatakan, keputusan Komnas HAM untuk membuka kasus pelanggaran HAM Kasus 1965 patut diacungi jempol. Selain hingga kini tragedi itu dengan berbagai versinya masih bisa diperdebatkan, penuntasan kasus 1965 sepertinya tidak akan bisa diungkap karena sudah menjadi beban sejarah masa lalu. Ari yang juga Staf Khusus Mantan Presiden Megawati Soekarnoputeri itu mencoba mengungkap sisik melik kasus 1965 dari aspek komunikasi antar budaya dan komunikasi politik. Saat Orde Baru naik ke puncak kekuasaan, kata dia, seluruh yang berbau Soekarnoisme dilucuti. Para mahasiswa dan anggota korps diplomatik di luar negeri yang tidak mengakui rezim baru paspornya tidak diperpanjang. "Akibatnya mereka menjadi `stateless" alias kehilangan kewarganegaraanya, dan itu berlangsung hingga saat ini," katanya. Menurut penelitian Ari, akibat pencabutan paspor tersebut, para eksil itu mencari kehidupan sendiri-sendiri. Penderitaan demi penderitaan di negara-negara yang berbeda dengan daerah asalnya, menjadikan pola kehidupan termasuk pola komunikasi dan budaya yang menarik untuk disimak. Pria yang kerap pulang - pergi Jakarta- beijing serta menelajah beberapa negara di Eropa berhasil menjumpai puluhan eksil tragedi 1965 yang akibat kebijakan rezim Orde Baru tidak bisa pulang karena mengalami pencabutan paspor itu. Dari data dan hasil penelusuran Ari, yang master manajemen Komunikasi dari Universitas Indonesia itu, tidak semua mahasiswa Indonesia yang terdampar di luar negeri itu berhasil meraih kehidupannya. "Sangat miris ada yang sudah meraih gelar PhD tetapi di masa tuanya mencari kehidupan sebagai sopir taksi atau penjaga kantin sekolah. Sebagian besar hijrah ke Barat ketika usia telah lanjut dan terlambat mencari kehidupan," kata pria kelahiran Malang, 40 tahun silam itu. Namun Ari yang memiliki dua gelar SI yakni MIPA dan Hukum UI itu, juga menemukan sejumlah para eksil yang mengharumkan nama negara `barunya` seperti DR Manuaba yang menjadi peletak pengembangan nuklir di Hongaria, DR Warunojati, peneliti di Max Planc Institutr Jerman yang juga penyusun kamus Melanesia, Bambang lulusan Institut Pertelevisian Cekoslovakia yang pernah menjabat Direktur WDR serta Prof. Ernoko Adiwasito maha guru ilmu ekonomi di Venezuela. "Harapan mereka di masa usia senjanya bisa menghabiskan masa tua dan meninggal di tanah airnya, Indonesia. Bagi mereka Indonesia adalah tumpah darahnya yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari jati dirinya," kata Ari. Ia menyebutkan, ada dua warganegara kuba yang masih melengkapi persyaratan menjadi WNI lagi, namun keburu meninggal dunia tanpa pernah lagi menginjakkan kakinya lagi di Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008