Jakarta (ANTARA) - Perusahaan konsultan manajemen global Korn Ferry menyatakan bahwa fenomena kekurangan sumber daya manusia yang ahli dalam bidang tertentu merupakan salah satu dampak dari era digitalisasi yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu.

"Lingkungan bisnis Indonesia sedang terdisrupsi dengan tren saat ini yang menuju digitalisasi, sehingga perusahaan perlu mengadaptasi lingkungan bisnis VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity)," kata Principal, Korn Ferry Indonesia, Amanda Ryadi dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut Amanda, dengan perubahan ini terjadi peningkatan permintaan akan sumber daya manusia dengan keterampilan dan kompetensi yang tepat untuk mengisi jabatan pada level manajemen dan level atas untuk mendukung transformasi dan pertumbuhan perusahaan.

Namun, lanjutnya, pasokan sumber daya manusia yang ada saat ini tidak memenuhi permintaan karena keterampilan dan kompetensi yang diinginkan dinilai masih langka di Indonesia.

"Kekurangan sumber daya manusia yang tepat telah mengakibatkan persaingan pada bidang SDM untuk merekrut dan mempertahankan karyawan yang memiliki talenta dan keterampilan yang mumpuni, yang memicu perang remunerasi antar perusahaan," katanya.

Bahkan, menurut dia, beberapa perusahaan di industri keuangan di Indonesia bahkan bersedia menawarkan gaji premium 30 persen atau lebih tinggi untuk mendapatkan sumber daya manusia yang tepat.

Perusahaan juga dinilai harus bersaing untuk mendapatkan para manajer senior dengan soft skill yang dibutuhkan, seperti kecerdasan emosional, pemikiran kreatif, dan kemampuan untuk mengelola tim besar dan kompleks.

"Oleh karena itu, gaji di level manajer senior akan naik, dan kemungkinan akan meningkat lebih cepat daripada pekerjaan lain," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menilai peningkatan ketimpangan global salah satunya dipicu digitalisasi.

"Sebetulnya yang disampaikan dalam beberapa tahun terakhir, ketimpangan itu adalah isu global. Ketimpangan yang menjadi isu global itu saya melihat, salah satunya karena sekarang ini sedang ada perubahan mendasar terkait digitalisasi, terkait mulainya revolusi industri 4.0," ujar Bambang saat pembukaan Global Research Briefing Standard Chartered Bank di Jakarta, Kamis (24/1).

Menurut Bambang, peningkatan ketimpangan dunia karena adanya masa transisi yakni ada sejumlah pihak yang dengan cepat dapat menangkap manfaat dari ekonomi digital maupun revolusi industri, sehingga meningkatkan kekayaan yang dimilikinya.

"Seperti kita lihat, di daftar 10 atau 20 orang terkaya di dunia, sekarang didominasi oleh mereka yang terkait dengan digital maupun yang sudah masuk pada revolusi industri tersebut," katanya.

Sementara itu, lanjut Bambang, mayoritas pelaku bisnis lain di negara maju maupun sedang berkembang, masih dalam tahap yang sangat awal atau bahkan belum terlalu mempersiapkan diri untuk masuk menggarap ekonomi digital tersebut.

Oleh karena itu, untuk meredam ketimpangan tersebut yaitu dengan menutup ketimpangan yang terkait dengan produktivitas, sumber daya manusia, dan infrastruktur.

"Hanya itu yang perlu kita lakukan, tiga hal yang gap-nya terasa dan perlu kita tutup sehingga nantinya ketika digital economy menjadi mainstream, demikian juga revolusi industri. Kalau gap sudah kecil atau tertutup kita harapkan kalaupun ada pihak yang mendapat manfaat lebih, tidak akan menciptakan ketimpangan yang terlalu besar," ujarnya.

Baca juga: ARTIKEL - Skandal Facebook menyadarkan besarnya dampak data digital

Baca juga: Negara OKI diharap antisipasi dampak ekonomi digital

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019