Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN)/Pimpinan Jamaah Wahdatul Ummah, KH Agus Miftach mengatakan puncak sejarah hidup mantan Presiden HM Soeharto adalah puncak sejarah perjuangan bangsa, dimulai Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol Soeharto atas ibukota RI Yogyakarta, ternyata juga merupakan puncak sejarah perjuangan rakyat dalam mempertahankan eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia. "Peristiwa itu memberikan landasan yang kokoh dalam perjuangan diplomatik di forum internasional," katanya dalam sambutan empat puluh hari meninggalnya mantan Presiden RI HM Soeharto di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jateng, kemarin. Lebih jauh Agus menjelaskan, ketika menjabat Panglima Mandala dengan pangkat Mayor Jenderal dalam masa Dwi Kora 1961, Jenderal Soeharto berhasil membebaskan Irian Barat dari sisa-sisa kekuasaan kolonial Belanda. "Itu menjadi moment terpenting di era perjuangan awal untuk membentuk teritori Republik Indonesia yang utuh, sehingga Pak Harto juga seorang Bapak Bangsa sebagaimana Bung Karno," katanya. Selanjutnya, pada tahun 1965 ketika menjabat Pangkostrad kembali Mayor Jenderal Soeharto melakukan tindakan menentukan setelah tragedi G 30 S/PKI yang tegas dan berani dalam mematahkan kudeta itu. Setelah itu bintang Jenderal Soeharto terus bersinar, yakni pada 11 Maret 1966 lahir Supersemar yang memberikan landasan bagi Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI, mengkonsolidasikan kekuatan nasional, terutama TNI dan secara pasti menempatkannya di pucuk pimpinan negara. Pada 1967 MPRS melantik Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, kemudian pada 1968 melalui Sidang Istimewa MPRS, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-2. Sebuah kepemimpinan baru telah tampil dengan energi penuh, memulai sebuah era yang disebut Orde Baru yang berlangsung 30 tahun kemudian. "Inilah era pembangunan ekonomi yang mengantar Indonesia kepada era modernitas. Trilogi pembangunan Presiden Soeharto, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan telah mengantarkan Indonesia pada pertumbuhan ekonomi yang pesat. Presiden Soeharto membentuk kabinet teknokrat yang mampu bekerja dengan efektif," ujar Agus. Menurut mantan Ketua Harian KPU itu, dengan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan yang terukur, secara pasti Indonesia di bawah Presiden Soeharto tumbuh sebagai kekuatan strategis dalam geo-politik dan ekonomi Asia Pasifik. Kestabilan dan kemakmuran Indonesia memungkinannya tampil sebagai pemimpin Asia Tenggara dan Negara-negara Non-Blok yang disegani. "Akselerasi Pembangunan jangka panjang 25 tahun atau Pelita I–V adalah masa-masa peletakan landasan Pembangunan yang bertumpu pada sinergitas ekonomi yang didukung industri yang tangguh dengan kestabilan politik dan keamanan. Presiden Soeharto melakukan restrukturisasi politik, sehingga tinggal hanya dua Parpol (PPP dan PDI) dan satu Golkar," katanya. Pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, terjadi swasembada pangan dan pengendalian penduduk yang efektif melalui KB, Posyandu, PKK dll, kesejahteraan dan kemakmuran terus meningkat, sehingga tahun 1985 Badan Dunia FAO memberikan penghargaan monumental kepada Presiden Soeharto atas keberhasilannya dalam swasembada pangan. Sebuah prestasi tertinggi Bangsa Indonesia. "Inilah Zaman Kerta, zaman yang belum pernah dicapai dalam masa kepemimpinan Presiden yang manapun. Sudah barangtentu dengan tidak menutup mata terhadap kekurangan yang ada, sesungguhnya gelar Bapak Pembangunan bagi Pak Harto, tidak berkelebihan," kata Agus. Tokoh dari kalangan NU itu menyatakan tercengang ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur pada pagi 21 Mei 1998. "Saya berpendapat Pak Harto tidak seharusnya mundur, melainkan membangun kompromi dengan gerakan reformasi, agar momentum pembangunan tidak hilang," katanya menambahkan. "Saya pernah menentangnya, mengaguminya, melawannya dan mengharapkannya, dan akhirnya secara obyektif saya menyadari bahwa Pak Harto adalah pemimpin terbaik dan terbesar Indonesia dengan segala kewajaran dan kekeliruan kemanusiaannya," demikian KH Agus Miftach.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008