Pagimana, Sulteng (ANTARA News) - Ratusan orang memblokir jalan provinsi yang menghubungkan Kota Luwuk menuju kota-kota lain di Sulawesi Tengah, memrotes mobilisasi pasukan Brimob dari Palu mengamankan PT Satyaguna Sulajaya yang tentang warga Kecamatan Pagimana. Pemblokiran yang dilakukan sejak Sabtu malam (19/4) itu, menyebabkan kemacetan panjang pada Minggu pagi karena akses jalan terhalang oleh kayu, batu besar, dan drum-drum perintang yang dipasang pemrotes. Ratusan kendaraan angkutan umum, angkutan barang, dan kendaraan pribadi terjebak kemacetan sepanjang beberapa ratus meter di akses masuk Kota Pagimana, 60 kilometer arah utara Luwuk. Warga yang menolak beroperasinya PT Setyaguna Sulajaya itu juga membakar ban-ban bekas di badan jalan sejak Sabtu malam. Massa menolak mobilisasi pasukan Brimob mengamankan PT Satyaguna Sulajaya, perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) seluas 27.200 hektar yang sudah beroperasi selama 45 tahun di wilayah itu. Sementara itu, suasana kota Pagimana sejak Sabtu malam tampak mencekam. Puluhan personel Brimob yang dilengkapi senjata laras panjang terlihat berjaga-jaga di kantor Polsek setempat. Ratusan warga juga tampak berkerumun di sepanjang jalan. Mereka berusaha menghalangi mobilisasi alat berat milik Setyaguna Sulajaya yang akan membersihkan rintangan di badan jalan, termasuk yang akan menuju base camp perusahaan ini di desa Bondat, sekitar 20 kilometer arah timur kota Pagimana. Kapolres Banggai AKBP Drs Antonius Wisnu Sutirta dan Wakil Bupati Banggai Drs Musdar Amin MM terus berusaha melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat dan pemuda setempat agar mereka segera membuka akses jalan supaya arus distribusi barang dan jasa kembali lancar, namun upaya tersebut hingga kini belum berhasil. Proses negosiasi antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat ini masih terus berlangsung. Beberapa warga Pagimana yang dimintai keterangan mengatakan, mereka tidak akan membuka akses jalan provinsi itu sebelum Polda Sulteng menarik seluruh personel Brimob yang dikirim dari Palu sejak Jumat (18/4). "Ini bukan daerah perang. Pengiriman pasukan bersenjata lengkap dalam jumlah besar ke daerah kami bukan solusi untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan PT SS, bahkan hanya menakut-nakuti masyarakat," kata Ote Lagona, seorang tokoh pemuda setempat. Sementara itu, Ketua Forum Peduli Lingkungan Pagimana, Sukri Tapo, mengatakan aksi pemblokiran jalan karena mereka mengkhawatirkan terjadinya banjir dan tanah longsor akibat pembatatan hutan secara besar-besaran di bagian atas pemukiman mereka oleh PT SS. "Eksploitasi hutan secara besar-besaran dalam kurun waktu lama dipastikan menimbulkan bencana banjir dan kekeringan di desa-desa yang tofografinya berada di bawah kawasan pegunungan. Semuanya nanti masyarakat kami yang merasakan akibatnya," kata dia. Ia menambahkan, pihak Departemen Kehutanan sendiri menyatakan akan melakukan pengkajian ulang atas izin usaha yang sudah diberikan kepada PT SS, guna merespon aspirasi masyarakat di Kecamatan Pagimana yang menolak adanya eksploitasi hutan di wilayah mereka karena pertimbangan kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan. Sikap Dephut ini, katanya, disampaikan Direktur Bina Produksi Hutan, Listia Kusumawardani, ketika menggelar pertemuan di Jakarta yang dihadiri perwakilan masyarakat Pagimana, anggota DPRD, dan Pemkab Banggai, pada akhir Maret 2008. Kuatnya penentangan warga dari banyak desa setempat telah membuat PT SS yang sudah membayar dana reboisasi sebesar Rp1,8 miliar kepada pemerintah, hingga kini belum dapat merealisasikan kegiatan usahanya di lapangan secara optimal. Kepala Pusat Komando Pengendalian dan Operasi Polres Banggai, AKP Tatang Tarsono, yang dimintai keterangannya oleh wartawan di Pagimana mengatakan, pihaknya hanya menjalankan tugas pengamanan, sebab perusahaan (PT SS) telah mengantongi izin resmi dari Menteri Kehutanan sejak tahun 2004 silam. "Sebagai perusahaan legal, kami berhak memberi perlindungan dan pengamanan (dalam beroperasi)," kata dia. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008