Oleh Maria D. Andriana Jakarta (ANTARA News) - Bumi sering disebut sebagai ibu, induk segala kehidupan. Dalam mitologi suku-suku bangsa, bumi banyak dipersonifikasikan sebagai perempuan, lambang kesuburan karena keberadaannya yang memberi tempat tinggal dan menyediakan makanan bagi mahluk hidup. Maka dalam memperingati Hari Bumi 22 April, tak lepas dari peran planet ke lima terbesar dalam urutan sembilan planet tata surya itu sebagai sumber pangan bagi mahluk hidup penghuninya, khususnya manusia. Berbicara tentang ketahanan pangan Dr Listyani Wijayanti, Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bidang Teknologi Pangan dan Kesehatan, mengemukakan ada tiga aspek yang harus diperhitungkan yaitu ketersediaan, distribusi, dan akses. Meskipun bumi cukup subur untuk menghidupi "anak-anak"nya, manusia harus mampu bertindak bijaksana dan mengolah sumber daya alam guna menjamin ketersediaan pangan. Listyani Wijayanti menyebutkan, kegiatan pembangunan harus senantiasa memperhatikan kepentingan produksi pangan, dalam arti tidak mengusik lahan subur pertanian untuk dipergunakan kepentingan lain, misalnya sebagai areal pembangunan gedung. "Jika peruntukan lahan pertanian diabaikan, maka dampaknya akan mempengaruhi produksi pangan," katanya. Bumi yang mempunyai diameter 12,756 kilometer (km) itu adalah sumber pangan, energi, dan air, yang harus dimanfaatkan secara bijak, dipergunakan degan tepat dan seperlunya guna mencapai hasil yang optimal dan terjaga kelestariannya, tegasnya. Menurut dia, kegiatan pertanian juga mesti dijalankan dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah alam, misalnya pupuk organik dan pestisida yang tidak merusak ekosistem. Tetumbuhan di bumi bahkan juga disebutnya sebagai sumber obat alami yang selama ini belum maksimal diolah dan dimanfaatkan. Indonesia khususnya mempunyai kekayaan sumber alam dan kebudayaan mengolah jamu (ramuan obat dari tetumbuhan). "Menyayangi bumi juga dapat diwujudkan dengan mengolahnya, misalnya menghidupkan kembali kebiasaan menanam obat keluarga dalam program TOGA," kata Listyani. TOGA yang dimaksudnya adalah akronim dari Tanaman Obat Keluarga. Menristek Kusmayanto Kadiman, menurut dia, selama ini juga gencar melakukan penanaman aneka pohon langka dalam beberapa kesempatan selain juga mempromosikan penggunaan jamu dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat bisa ikut membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai jamu, bahkan seandainya tidak memiliki lahan bisa dimulai dengan memakai pot-pot untuk menanam. Hasil TOGA selain dapat dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, bila ditanam dalam jumlah lumayan banyak bisa dimanfaatka untuk industri kecil yang menggunakan bahan baku tanaman obat, kata Listyani. Untuk menjaga sang Ibu Pertiwi, dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan supaya bumi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali, katanya. Elshinta S. Marsden, Head of Communications and Outreach World Wild-Life Fund for Nature (WWF) Indonesia, mengajak masyarakat mencintai bumi dengan memperlakukan alam secara seimbang. "Hindari perilaku konsumtif , bergaya hidup `hijau` dan tularkan gaya hidup itu pada anggota keluarga dan teman-teman," kata Elshinta. "Prihatinlah `ibu` tidak semuda dulu," kata Elshinta, juga menggunakan personifikasi ibunda bagi bumi. Dibandingkan dengan seluruh planet dalam tata surya, bumi adalah satu-satunya yang tidak menyandang nama dari mitologi Yunani atau Roma. Nama Earth diambil dari bahasa Inggris kuno dan Jerman. Dalam mitologi Roma, Dewi Bumi disebut Tellus sedangkan mitologi Yunani menyebutnya sebagai dewi kesuburan, Gaia, ibu bumi. Bangsa Indonesia menyebut bumi sebagai Ibu Pertiwi, bunda yang menaungi hidup segala mahluk di dalamnya, sedangkan di Jawa dilambangkan sebagai Dewi Sri, lambang kesuburan. Beberapa suku di Indonesia juga menempatkan bumi sebagai Dewi kesuburan dan ibu sementara langit adalah personifikasi laki-laki, dewa penguasa hidup di alam semesta. Manusia sebagai penghuni bumi konon baru pada abad 16 menyadari bahwa tanah yang dipijaknya adalah juga planet seperti matahari, bulan, merkurius, saturnus. Peta bumi secara utuh juga baru berhasil diciptakan pada abad 20. Planet bumi dikelilingi atmosfir, yang mengandung oksigen, nitrogen, juga terdapat lautan dan cairan di permukaan dan di perut bumi, lapisan padat berupa tanah dan bahan mineral seperti besi, nikel, magnesium, silikon, belerang, titanium. Bumi adalah planet yang memiliki kepadatan paling tinggi dibanding delapan planet lain. Umur bumi diperkirakan 4,5 miliar hingga 4,6 miliar tahun, tetapi permukaannya masih muda, yakni sekira 500 juta tahun. Kemudaan ini diduga lantaran permukaan bumi yang terus-menerus tergerus erosi dan proses gempa yang membuatnya seperti terkelupas dan memiliki kulit baru. Keadaan itu juga menyebabkan terhapusnya jejak-jejak fenomena alam yang terjadi di permukaan bumi. Fosil organisme tertua yang ditemukan di bumi berumur 3,9 miliar tahun. Peringatan Hari Bumi setiap 22 April dimulai di Amerika Serikat (AS) pada 1970 oleh penggagasnya, Senator Gaylord Nelson, yang gigih memperjuangkan kelestarian alam pada 1960-an. Senator Nelson yang meninggal pada usia 89 pada 2005, yang yakin bahwa melalui pendidikan, maka orang dapat mengubah gaya hidup yang ramah lingkungan. Memperjuangkan isu lingkungan pada masa itu adalah hal yang tidak populer, terutama ketika masalah politik sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di AS, terutama pada masa-masa kampanye dan pemerintahan Presiden John F. Kennedy, disusul isu anti perang Vietnam. Tetapi, kegigihan senator Nelson membuahkan hasil karena ia mendapat dukungan dari jutaan rakyat jelata dan mahasiswa yang peduli pada lingkungan dan kelestarian bumi. Presiden Bill Clinton menganugerahkan "Medal of Freedom" bagi Gaylord Nelson pada 29 September 1995 atas jasanya sebagai Bapak Hari Bumi, atau seperempat abad setelah Hari Bumi itu diperingati setiap tahun. Kini, di tengah keprihatinan akan keselamatan bumi yang terancam pemanasan global, perubahan cuaca, kerusakan alam dan keterbatasan pangan, Hari Bumi diperingati dengan berbagai cara oleh kelompok-kelompok yang peduli dengan tema "call for climate" untuk bumi yang semakin renta. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008