Mataram (ANTARA News) - Staf khusus Menteri Kehutanan bidang Pemberdayaan Masyarakat Prof San Afri Awang mengemukakan "Sangkep Beleq" (pertemuan akbar) pemangku kepentingan dinilai tepat untuk menyelesaikan konflik kawasan hutan Desa Sesaot, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

"Kegiatan `Sangkep Beleq` ini jangan dianggap enteng, ini adalah konsultasi sosial, budaya, politik dan lingkungan, antara rakyat dan pemimpinnya untuk menyelesaikan perbedaan," katanya kepada ANTARA di Mataram, Selasa, di lokakarya Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Jasa Lingkungan Lestari serta Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Pembangunan Berkelanjutan".

Lokakarya itu digagas Pemkab Lombok Barat dengan Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB serta Kementerian kehutanan.

Kegiatan yang juga didukung "Ford Foundation", ACCES Phase II, Lembaga Ekolabel Indonesia, ICRAF, FKKM, ICEL, FFI, Dewan Kehutanan Nasional, "World Neighbors" dan Lapera itu merupakan kegiatan pembuka sebelum pelaksanaan puncak "Sangkep Beleq" III/2010 YANG dipusatkan di Dusun Kumbi, Desa Lebah Sempaga, Kecamatan Narmada, Rabu (29/12).

Konflik yang hingga kini terjadi di kawasan hutan Sesaot terkait adanya keinginan masyarakat setempat, didukung Bupati Lombok Barat H Zaini Arony, yang menginginkan skema hutan kemasyarakatan (HKM) segera ditetapkan.

Namun Gubernur dan Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengusulkan skema taman hutan raya (Tahura).

Menurut San Afri Awang, resolusi konflik yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan antara aspirasi HKM dan keinginan Tahura itu adalah mediasi kepentingan Dishut versus kepentingan masyararakat.

"Masalah ini perlu diselesaikan dengan kumpul bersama untuk membicarakan masalah yang ada, dan momentum `Sangkep

Beleq` itu dapat dijadikan ajang menyuarakan persoalan yang terjadi," katanya.

Momentum ini mesti dipakai dengan benar untuk konsultasi antara seorang gubernur dan rakyatnya, atau bupati dan rakyat, dan ini bisa dijadikan solusi.

"Ini luar biasa dan bisa didanai APBD karena di sinilah tempat konsultasi," kata Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

Ia menjelaskan, di Yogyakarta ada mekanisme yang dikenal dengan "Pisowanan Agung", di mana Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono bertemu langsung dengan rakyatnya, yakni rakyat dapat bertanya kepada raja, dan raja menjawab pertanyaan rakyat.

"Sekarang kita di NTB ini punya `Sangkep Beleq`, dan tidak semua daerah punya. Di sini bisa datang 1.500 orang, ini luar biasa, jadi momentumnya mesti dipakai dengan maksimal," katanya.

Ia mengatakan, kalau ada yang mengatakan ada unsur politiknya, memang ada, memang harus dikemas begitu. "Kita punya masalah, maka harus kita ajukan kepada pejabat berwenang. Itulah kewajiban pemimpin, mereka harus datang, karena kita yang dari pusat saja datang untuk menyaksikan proses tersebut," katanya.

Ketua Forum Kawasan Hutan Sesaot Ahmad Mulyadi menjelaskan, masyarakat sekitar hutan memiliki keterikatan yang erat dengan hutan di wilayahnya.

Demikian juga keterikatan masyarakat yang ada di wilayah Sesaot, di mana saat ini hutan Sesaot dikelola oleh petani yang tergabung dalam empat kelompok HKm, yaitu KMPH, Wana Lestari, Wana Darma, dan Wana Abadi.

Di antara empat kelompok tersebut, KMPH telah mendapatkan izin HKm dari bupati untuk mengelola areal seluas 185 hektare (ha).

Terkait lokakarya tersebut, Direktur Konsepsi Rahmat Sabani mengatakan, kegiatan itu akan merumuskan juga masukan dari Pemkab Lombok Barat kepada Kementerian Kehutanan terkait diakuinya pola pengelolaan HKm, karena pemerintah daerah telah menyatakan dukungannya terhadap pola tersebut.(*)

(T.A035/E005/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010