Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyatakan, orientasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semestinya sesuai dengan arah ekonomi yang diamanatkan Konstitusi.

APBN menurut konstitusi, harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi rakyat banyak, bukan pada segelintir kelompok ataupun individu, ujarnya saat menjadi pembicara dikusi kebangsaan yang diselenggarakan GMNI dengan tema "Korupsi; Potret Buram Hukum Indonesia" di Jakarta, Kamis.

Namun orientasi APBN saat ini, ungkap Eva, masih jauh seperti yang dimaktubkan dalam Konstitusi. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari distribusi kesejahteraan yang hanya mengena pada sekelompok elite saja, bukan masyarakat banyak.

Misalnya saja, dari semua perusahaan tambang yang ada di Indonesia, 92 persen pengelolaannya dikuasai asing. Hal sama terjadi di dunia perbankan, di mana 55 persen perbankan yang ada di Indonesia, sepenuhnya milik asing.

Semua itu, papar politisi PDI Perjuangan ini, terjadi karena perilaku koruptif yang dilakukan para pemangku kebijakan dan kekuasaan di negeri ini. "Korupsi di Indonesia sudah menjadi problem struktural, di mana orang difasilitasi, diakomodasi untuk berperilaku koruptif," ungkap Eva.

Sebagai solusi, Eva menganjurkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi fokus pada tindak pencegahan terjadinya korupsi. Tindak pencegahan terhadap aksi korupsi, kata dia, diawali dari pola pikir atau paradigma para pembuat keputusan dan pemangku kebijakan.

"Korupsi yang paling besar pengaruhnya adalah korupsi kebijakan, ketika itu terjadi akibatnya akan memiskinkan semua orang dalam waktu lama," ujarnya.

Selain fokus pada pencegahan, Eva juga menegaskan, reformasi hukum harus dilakukan terus menerus, salah satunya dengan merevisi Undang Undang KPK.

Saat ini, di UU KPK penyelidikan dan penyidikan hanya terkait jika ada kerugian uang negara. Adapun kerugian uang masyarakat yang dikorupsi pihak lain tidak bisa dalam jangkauan KPK.

"Banyak laporan yang masuk, uang masyarakat dibawa kabur pengusaha, karena itu UU KPK ke depan mesti diperluas cakupannya bukan hanya pada kerugian uang negara," cetus dia.

Di tempat yang sama Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Teten Masduki menyatakan, membasmi korupsi sekarang ini tidak bisa seperti dulu. Kalau sebelum reformasi membasmi korupsi bisa dilakukan dengan menangkap tokoh sentralnya pada satu tempat, kini hal itu tidak bisa dilakukan lagi.

"Pasalnya, pelaku korupsi saat ini sudah menyebar di mana-mana, tidak tersentral seperti ketika sebelum reformasi," ujarnya.

Karena itu, kata Teten, jika ingin memberantas korupsi saat ini, tidak bisa hanya dilakukan tindak pencegahan. Menurut dia, aksi pencegahan harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas.

"Pencegahan baru akan jalan bila hukumnya menakutkan. Percuma dilakukan pencegahan, jika hukum tidak tegas. Koruptor lebih memilih untuk berkorupsi karena hukum bisa dibelinya," ucapnya.

Sedangkan Ketua Presidium Pusat GMNI Twedy Noviadi memaparkan, sistem politik saat ini yang lebih condong pada liberal sangat membuka munculnya pelaku-pelaku korupsi.

Dengan sistem politik yang liberal, kata dia, ongkos politik menjadi lebih mahal. Ketika itu terjadi, politisi hanya akan memikirkan bagaimana ongkos politik yang sudah dikeluarkannya bisa kembali atau bahkan untung.
(T.D011/Z003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011