... sirkus kehidupan. Arak-arakan panjang tak bertepi... Aku manungso. Aku penguasa!... "
Jakarta (ANTARA News) - Selendang berwarna merah yang kerap dililitkan di tubuh Sri Ledhek (Sruti Respati) membawa penonton ke kisah jungkir balik dunia. Sejak semula, Sri Ledhek ini juga diperkenalkan sebagai Selendang Merah.

Dari tubuh Sri Ledhek, selendang merah itu berpindah ke tubuh Hanoman (Heru Purwanto) yang menjadi binatang perliharaan rombongan Ledhek Tayub milik Tuan Ledhek (Anggono Kusumo Wibowo).Tuan Ledhek sebagai pemilik sirkus itu, merasa dan menganggap dirinya sebagai penguasa.

"Aku manungso. Aku penguasa!" dendang Anggono Kusumo Wibowo saat menjadi Tuan Ledhek, sambil menari.

Tuan Ledhek mendidik Hanoman secara keras. Liuk tubuh Heru dan Anggono memberi tahu penonton bahwa Hanoman sedang digembleng oleh Tuan Ledhek, dipukul, dijewer, tanpa memperlihatkan adegan kekerasan.

Menaruh simpati pada Hanoman, Sri Ledhek pun meyelimuti tubuh monyet itu dengan selendang miliknya.

Sampur berwarna merah itu rupanya mampu memercikkan amarah Tuan Ledhek. Merasa memiliki kuasa, Tuan Ledhek pun marah kepada sang istri.

"Kekuasaan. Kamu melempar. Kamu yang tertampar," ratap Sri Ledhek akan kemarahan suaminya.

Dunia pun jungkir balik. Tamparan bagi Tuan Ledhek datang dari Hanoman. "Manusia jadi hewan, hewan jadi manusia."

Ragam budaya Indonesia

Selendang Merah karya Garin Nugroho dipentaskan di dua tempat, Solo dan pekan ini di Jakarta.Pekan lalu, saat pementasan di Solo, bagian terakhir dari trilogi Opera jawa merupakan paduan dari musik dan gerak
tari Jawa Tengah hingga Jawa  Timur.

Sang pemeran Sri Ledhek, Sruti Respati, berkata 60 persen lakon Selendang Merah ini dalam ragam jawa timuran yang sangat egaliter. Dari segi musik maupun tari,bagi Sruti yang asal Jawa Tengah, Jawa Timur lebih cepat.

"Jawa Timur itu hal yang baru buat saya. Saya tertantang untuk bisa mendalami seorang ledhek. Saya harus eksplorasi lagi, gimana tayub yang bukan Jawa Tengah," tutur Sruti usai pementasan di Taman Ismail
Marzuki (TIM), Sabtu (13/4).

Menggunakan bahasa Jawa dalam dialog-nya, Selendang Merah juga menunjukkan ragam bahasa Jawa. Logat Jawa Tengah antara lain telihat dari tokoh Sri Ledhek, sedangkan jawa timuran dibawakan oleh seorang
badut perempuan yang kerap menggunakan kata cak (sepadan dengan mas dalam bahasa Jawa lain) dan berbicara dengan tempo lebih cepat.

Musik langgam Jawa Timur pun terdengar ketika sekumpulan penari, yang membawa pecut seperti yang kerap dibawa penari Reog Ponorogo, masuk ke panggung. Dalam adegan ini, Garin tidak hanya menyuguhkan budaya Jawa.

Topeng Papua yang dikenakan sepasang badut berpadu dengan entakan gendang dan tiupan seruling. Garin pun menghadirkan topeng Papua besar berbentuk segitiga berukuran sekitar dua meter.

Tanpa punakawan

Seperti opera bernuansa Jawa lainnya, Garin pun menyisipkan intermezzo di tengah-tengah lakon. Bedanya, punakawan Semar, Petruk, Gareng, dan bagong digantikan oleh kelompok sirkus asuhan Tuan Ledhek.

Badut yang diperankan Danang Pamungkas membuka sesi humor ini dengan meliuk-liukkan tubuhnya seperti penari balet dan menyanyi seriosa.

Tak lama kemudian, Endah Laras dan anggota sirkus lainnya pun masuk. Endah menjadi penembang utama, lima anggota sirkus menjadi paduan suara pengiring, mengikuti aba-aba Badut.

"Hidup ibarat perjalanan sirkus kehidupan. Arak-arakan panjang tak bertepi," nyanyi mereka.

Sisipan humor terlihat dari tarian para paduan suara, mulai dari menari seperti penampil di panggung Broadway (serentak bergantian mengayunkan kaki ke kiri dan ke kanan) hingga gerakan yang menggambarkan sedang memainkan permainan tradisional engklek.

Tidak berhenti di situ, rombongan sirkus yang telah dimeriahkan oleh kehadiran Hanoman berselendang merah, Sri Ledhek, dan Tuan Ledhek pun mengabadikan kegiatan mereka.

Badut yang didapuk menjadi "juru foto", dengan menggunakan topeng sebagai kamera bohongan, mengambil foto rombongan Ledhek yang berpose dengan berbagai gaya. Tak puas dengan satu jepretan, anggota Ledhek
lainnya pun memberikan "kamera" miliknya pada Badut, agar dapat berfoto bersama lagi. (*)

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013