Samuel Eto'o, sang kapten yang menyabet empat kali penghargaan sebagai pesepak bola terbaik Afrika.
Jakarta (ANTARA News) - Singa Kamerun siap menerkam siapa pun lawan. Terkamlah daku kau kutangkap, kejarlah daku kau pun lelah. Inilah bursa kata-kata di hamparan belukar dorongan naluri setiap manusia yang ingin mempertahankan hidup.

Ibarat singa yang menerkam sana, menerkam sini, Kamerun mengetuk gerbang perhelatan Pesta Bola 2014 di Brasil dengan menunjuk kepada dua hal mendasar dari setiap perilaku manusia, yang baik diperjuangkan, yang buruk dijauhi.

Kamerun bukan sekedar pasukan berhati singa. Kamerun lebih bangga bila mampu menerkam setiap lawan kemudian menggiring mereka ke kandang kekalahan.

Sebelum mereka mampu menundukkan lawan, mereka lebih dulu menaklukkan diri sendiri. Musuh sejati ada dalam diri sendiri. Pengalaman berbicara, skuad Kamerun gagal lolos dalam dua perhelatan Piala Afrika. Penyebabnya, para pemain Kamerun suka berseteru ketimbang berdamai dengan federasi sepak bola negeri itu.

Buntut pertikaian itu, ujung-ujungnyan FIFA menerkam balik dengan menjatuhkan hukuman larangan bertanding kepada skuad Kamerun terhitung sejak Juli tahun lalu. Ini lantaran pemerintah melakukan intervensi kepada badan sepak bola setempat.

Rasa bahagia bersemayan dalam diri sendiri. Kamerun punya segudang gelandang bertahan mumpuni, meski mereka kurang punya kreativitas. Klaim ini tidak berlaku bagi pemain yang kini membela panji Barcelona, Alex Song.

Selain itu, Kamerun punya Samuel Eto'o, sang kapten yang menyabet empat kali penghargaan sebagai pesepak bola terbaik Afrika. Pergumulan dan perjuangan pemain ini membela negerinya tidak bisa dipandang enteng.

Boleh-boleh saja FIFA menghukum Kamerun, tetapi langkah Eto'o tidak lantas terhenti. Ia mencintai sepenuh rindu akan negerinya, karena ia tahu bahwa sepak bola menuntut bara menggelora "passion".

Di Chelsea, pemain berusia 32 tahun itu, yang telah mengumumkan pengunduran diri sebagai pemain di ajang internasional pada September lalu, kemudian terlibat pertikaian dengan pelatih Volker Vinke.

Konflik itu disebut-sebut telah dirancang atau direkayasa agar konsentrasi mereka terganggu jelang babak play-off Piala Dunia melawan Tunisia.

Sebenarnya siapa Volker Finke? Pelatih asal Jerman ini bertugas membesut Kamerun sejak Mei 2013. Ia menjadi pelatih ketujuh selama kurun empat tahun ke belakang.

Pelatih berusia 65 tahun itu sebelumnya menangani Freiburg selama 16 tahun, terhitung sejak 1991. Dengan begitu, ia menorehkan catatan sebagai pelatih terlama dalam perjalanan sejarah Bundesliga.

Di bawah arahan Finke, Kamerun mampu menyabet prestasi sebagai runner-up babak kualifikasi Piala Dunia zona CAF yang diadakan di Libya.

Masyarakat bola Kamerun dibuat gusar dengan prestasi tim kesayangannya. Di babak playoff, mereka hanya bermain imbang di leg pertama melawan Tunisia. Di leg kedua, Kamerun mengalahkan Tunisia 4-1.

Tantangan Finke relatif berat. Ia perlu mencari untuk menemukan formula tepat guna mengobati kondisi kamar ganti yang serba kisruh dari timnas Kamerun.

Skuad asuhan Finke seakan sedang bertinju di hadapan cermin. Kondisi ini makin rumit lantaran perilaku Eto'o yang egoistis. Tugasnya sebagai pelatih antara lain, mengatur dan mengarahkan gejolak emosi pasukannya, apalagi mereka turun dalam perhelatan tersohor di kolong langit ini.

Selain Eto'o, Finke diharapkan mampu meningkatkan talenta pemain muda khususnya di lini depan, antara lain Moukandjo dan Webo.  Di gelandang, Kamerun mengandalkan  Alexandre Song, Jean Makoun dan Stéphane Mbia.

Di Brasil, Finke diharapkan menjadi dirigen dari orkes bernama Kamerun. Modalnya: kepercayaan diri. Bukankah negeri itu pernah memiliki pemain yang ngetop pada tahun 1990-an, yakni Roger Milla. Dan sejarah bukan hal serba indah dikenang, tetapi diwujudkan bagi masa kini dan sekarang.

Tantangan Finke, yakni menangkap asa para singa muda Kamerun agar mereka bertanding dengan kerinduan mendalam akan mujarab kata-kata "terkamlah daku kau kutangkap".

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014