Jakarta (ANTARA News) - Saat Presiden RI Joko Widodo bakal mengikuti pertemuan G-20 di Brisbane, Australia, 15-16 November 2014, di Tanah Air, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan kecaman terhadap G-20.

Khususnya, Susi Pudjiastuti mendesak agar aturan terkait perikanan dalam kelompok G-20 tidak merugikan sektor perikanan Republik Indonesia.

"Kita ingin menjadi tuan rumah dan berdaulat di negeri sendiri," kata Susi Pudjiastuti dalam acara dialog Menteri Kelautan dan Perikanan dengan pelaku usaha di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Selasa (11/11).

Menurut Susi, dirinya meminta kepada Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP untuk menyurati sejumlah instansi untuk meminta keluar dari G-20 untuk sektor perikanan bila ternyata aturannya merugikan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan, Indonesia di G-20 bukanlah negara yang berperan besar dalam pengambil keputusan dalam perhimpunan negara-negara di tingkat global tersebut.

"Kita bukan G-8, kita hanya penggembira," ucapnya.

Sehari setelahnya, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengemukakan, bila ternyata lebih menguntungkan maka Indonesia lebih baik keluar dari G-20.

"KKP sedang siapkan surat tentang ini," kata Saut Hutagalung ketika dihubungi Antara untuk menanyakan konfirmasi mengenai pernyataan "Indonesia keluar dari sektor perikanan G-20" di Jakarta, Rabu (12/11).

Saut menjelaskan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiasti berpandangan lebih baik perikanan Indonesia keluar dari G-20 agar produk-produk perikanan dapat dikenakan tarif bea masuk lebih rendah di pasar negara lain seperti ke Amerika Serikat.

Selain itu, ujar dia, keuntungan lainnya adalah juga bisa mendapatkan bantuan untuk perikanan yang dominan dipenuhi usaha berskala kecil.

Pernyataan itu menimbulkan beragam tantangan dari sejumlah pihak di masyarakat, baik dari yang pro maupun yang kontra.



Sertai pembenahan internal

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan wacana pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan G-20 harus disertai pembenahan beragam aturan serta penerapan sektor kelautan dan perikanan.

"Pengunduran diri Indonesia dari G-20 berpotensi baik jika dilakukan pembenahan di dalam negeri," tutur Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Rabu (12/11).

Menurut Abdul Halim, pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahwa Indonesia dirugikan di sektor perikanan sehingga menjadi landasan utama untuk keluar dari G-20, dinilai masuk akal.

Selain itu, ia berpendapat bahwa sejauh ini keterlibatan Indonesia di pentas internasional tidak memberikan manfaat kepada produsen di dalam negeri yang mencakup dari urusan pangan dan berbagai hal lainnya. "Indonesia justru banyak bergantung kepada pihak asing," ucapnya.

Padahal, ujar dia, urusan pangan menjadi sangat jelas untuk menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap pihak asing.

Sekjen Kiara mencontohkan, ketergantungan itu antara lain dari banyaknya protein dan karbohidrat yang diimpor dari pihak asing.

Untuk itu, Abdul Halim menegaskan perlunya ada pembenahan di dalam negeri mulai dari kebijakan dan reorientasi program kemandirian produsen domestik.



Patut dipertimbangkan

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahwa Indonesia sebaiknya keluar dari Forum G-20 karena tidak ada manfaatnya, patut dipertimbangkan Presiden Joko Widodo.

"Apa yang disampaikan oleh Menteri KKP perlu dipertimbangkan secara serius oleh Presiden Jokowi bila benar kepentingan Indonesia justru dirugikan," katanya di Jakarta, Kamis (13/11).

Dia menjelaskan dengan Doktrin Jokowi atas tafsir baru politik luar negeri bebas aktif yaitu "All Nations are Friends until Indonesias sovereignty is degraded and national interest is jeopardized (semua negara adalah sahabat sampai kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan) maka bila kepentingan Indonesia dalam Forum G-20 dirugikan, maka Presiden Jokowi harus tegas menyatakan Indonesia keluar."

"Mengingat pelaksanaan G-20 sudah tinggal beberapa hari, maka Presiden Jokowi dapat meminta tim untuk mengkaji kemanfaatan Indonesia dalam G-20. Bila hasil kajian ternyata memang benar apa yang disampaikan oleh Menteri KKP, sebaiknya Presiden Jokowi tidak menghadiri KTT G-20 di Australia," ujar dia.

Menurut dia, ada tiga kriteria yang dapat digunakan mengkaji kemanfaatan keanggotaan Indonesia di forum G-20.

Pertama, apakah Indonesia dapat secara vokal menyampaikan berbagai permasalahan yang dihadapi.

Kedua, permasalahan yang dihadapi adalah masalah-masalah yang merepresentasi masalah yang dihadapi oleh Negara Berkembang seperti Indonesia.

Ketiga, apakah forum G-20 dapat mengakomodasi kepentingan Indonesia dan negara berkembang dalam keputusan-keputusannya.

"Intinya, bila keanggotaan Indonesia tidak dapat memberi warna dari berbagai keputusan yang diambil oleh negara-negara yang tergabung dalam G-20 maka sebagaimana usul Menteri KKP sebaiknya Indonesia keluar," ujar dia, menegaskan.



Bukan barang baru

Sebenarnya, kritik terhadap G-20 bukanlah barang baru. Dalam ensiklopedia dunia maya Wikipedia, G-20 (yang merupakan singkatan "The Group of Twenty") dikenal sudah lama mendapat kecaman sejumlah pihak.

G-20 itu sendiri beranggotakan Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, India, Indonesia, Inggris Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, Tiongkok, dan Turki, serta Uni Eropa.

Secara bersamaan, perekonomian G-20 meliputi 85 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global, serta 80 persen dari perdagangan dunia.

Selain itu, G-20 awalnya dinyatakan terbentuk pada 1999 sebagai forum kerja sama dan kooperasi terkait dengan sistem keuangan internasional.

Sedangkan KTT G-20 diciptakan sebagai respons krisis finansial 2007-2010 dan adanya anggapan bahwa negara-negara berkembang yang baru tumbuh tidak dilibatkan secara memadai dalam diskusi dan tata kelola perekonomian global.

KTT G-20 pertama dilakukan di Washington DC pada tahun 2008, dan selanjutnya digelar sebanyak dua kali dalam setahun seperti di London dan Pittsburgh pada 2009, serta di Toronto dan Seoul pada 2010.

Kritik terhadap G-20 antara lain datang dari Menteri Luar Negeri Norwegia Jones Gahr Store pada wawancara dengan majalah Jerman, Der Spiegel pada tahun 2010.

Menlu Norwegia mengritik bahwa Norwegia (yang bukan bagian dari Uni Eropa) tidak memiliki suara dalam G-20, sama seperti 173 negara lainnya.

Selain itu, ujar Jonas Gahr Store, G-20 mengurangi legitimasi organisasi internasional lainnya yang lebih inklusif seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB.

"G-20 adalah salah satu kemunduran terbesar sejak Perang Dunia II," paparnya.

Sedangkan pada 2010, perwakilan Singapura di PBB memberikan peringatan bahwa keputusan G-20 akan berdampak kepada seluruh negara, baik besar maupun kecil.

Dengan demikian, negara-negara G-20 seharusnya juga dapat memiliki saluran untuk berpartisipasi dalam diskusi reformasi finansial yang diselenggarakan G-20.

Singapura sendiri terlibat dalam pembentukan Global Governance Group (3G), kelompok informal yang terdiri atas 28 negara non-G-20 yang bertujuan menyalurkan pandangan mereka secara lebih efektif dalam proses G-20.

Sebagaimana diketahui, G-20 memang bukan organisasi yang sudah memiliki sejarah yang panjang.

Untuk itu, menarik pula disimak apakah kecaman dari jajaran Kabinet Kerja terhadap G-20 juga akan berkontribusi terhadap eksistensi G-20 atau hanya menjadi kritik yang hanya sambil lalu, kemudian terlupakan begitu saja.

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014