Hiburan untuk anak-anak sudah sangat jarang, faktanya kita tidak menyediakan sarana tontonan yang baik dan mendidik yang sesuai dengan semangat dan budaya Indonesia,"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi VIII DPR RI yang membidangi agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak menyoroti kurangnya hiburan untuk anak sehingga anak kehilangan pelajaran tentang semangat dan budaya Indonesia dari acara televisi.

"Hiburan untuk anak-anak sudah sangat jarang, faktanya kita tidak menyediakan sarana tontonan yang baik dan mendidik yang sesuai dengan semangat dan budaya Indonesia," kata Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, tontonan untuk anak yang ditayangkan di televisi nasional sebagian besar bukanlah hasil produksi dalam negeri, yakni berasal dari negara yang memiliki budaya dan adat yang berbeda dari Indonesia.

Akibatnya, tutur dia, anak Indonesia tidak banyak mengenal tokoh-tokoh panutan yang memberikan pelajaran sopan santun dan adat ketimuran.

Ia menilai maraknya tingkat kekerasan oleh anak juga disebabkan oleh tontonan yang berisi adegan kekerasan dalam acara-acara dari luar tersebut.

"Tidak heran jika sekarang banyak anak yang suka kekerasan, tidak patuh pada orang tua dan tak menerapkan budaya ketimuran karena mereka mencontoh tontonan dari luar yang mereka saksikan di televisi setiap hari," ujar dia.

Ia berpendapat, kurangnya tontonan untuk anak merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak secara tidak langsung.

Ia mengatakan Komisi VIII dan pemerintah akan berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mendorong hiburan anak dari dalam negeri dan mengawasi tontonan dari luar.

Menurut Psikolog Tika Bisono, anak belum dapat memilah tontonan yang baik dan buruk sehingga orang tua harus selektif memilih tontonan yang sesuai dengan umur anak.

Jika orang tua melepaskan anak menonton tayangan televisi tanpa pengawasan, pikiran anak dapat dirusak oleh tontonan tidak baik, ditambah lagi anak suka meniru apa yang dilihatnya.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015