Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam laporan tahunan berjudul "Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia" mencatat bahwa pelaku penyiksaan masih didominasi oleh polisi dengan jumlah 35 tindakan penyiksaan.

"Tindakan polisi mengakibatkan 37 orang menjadi korban dengan rincian sembilan orang tewas, 27 orang luka-luka, dan satu orang luka ringan," ujar Ketua Biro Riset Kontras Puri Kencana Putri dalam diskusi publik berjudul "Peningkatan Peran Negara untuk Pencegahan, Penghentian Praktik Penyiksaan dan Perlindungan bagi Korban" di Jakarta, Kamis.

Sedangkan peringkat kedua ditempati oleh petugas sipir penjara yaitu 15 tindakan penyiksaan yang mengakibatkan empat orang tewas, 32 orang luka-luka, dan tujuh orang luka ringan.

Masih menurut hasil riset Kontras, peringkat ketiga diduduki oleh TNI dengan 9 tindakan penyiksaan yang menyebabkan tiga orang tewas dan 20 orang luka-luka.

"Selain itu Kontras juga mencatat 25 hukuman cambuk yang dilakukan oleh aparat Pemda Aceh, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Provinsi NAD. Sebanyak 183 orang mendapat hukuman cambuk karena penerapan Qanun Jinayat di provinsi tersebut," kata Puri.

Banyaknya jumlah praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, menurut Puri, disebabkan karena absennya penegakan hukum yang jauh dari prinsip transparansi, akuntabel, jujur, dan adil terhadap aparat yang melakukan tindak penyiksaan.

Bahwa digunakannya mekanisme etik atau internal untuk menghukum aparat penegak hukum yang melakukan penyiksaan hanya menitikberatkan pada sanksi administratif sehingga memperpanjang rantai impunitas.

"Mekanisme internal atau etik apakah benar-benar bisa menjadi alat penghukuman atau hanya sebagai sarana impunitas?," tutur Puri.

Sependapat dengan Puri, anggota Ombudsman RI Budi Santoso menyatakan bahwa selama tahun 2014 terdapat 852 laporan pengaduan masyarakat kepada Ombudsman RI terkait penyiksaan yang 331 kasus di antaranya merupakan laporan terkait dengan perilaku penyidik kepolisian.

"Berdasarkan riset yang kami lakukan, tindakan penyiksaan pada saat proses penangkapan dan penahanan cukup rendah. Namun ketika masuk ke proses penyidikan justru persentase (tindakan penyiksaan) paling tinggi," tuturnya.

Dikatakannya, tindakan penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan paling banyak dilakukan oleh kepolisian resor (Polres) dengan persentase 66,7 persen sedangkan sisanya dilakukan oleh kepolisian sektor (Polsek) dengan persentase 33,3 persen.

Sementara itu di level penyidikan, persentase tindak penyiksaan hampir merata yakni kepolisian daerah (Polda) 33,3 persen, Polres 43,3 persen, kepolisian resor kota (Polresta) 13,3 persen, dan Polsek 10 persen.

Menanggapi hasil temuan tersebut, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti yang juga hadir dalam diskusi tidak menampik fakta bahwa benar dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi harta, benda, dan jiwa masyarakat, polisi kerap kali melakukan berbagai tindakan polisional yang beberapa di antaranya berujung pada penyiksaan.

"Praktik penyiksaan tersebut merupakan impact dari ketidakmampuan suatu organisasi. Harus diakui bahwa semakin tinggi kapabilitas seseorang dalam melakukan tindakan polisional maka akan semakin sedikit tindakan kekerasan yang dilakukan dalam menyelidiki atau menyidik suatu kasus," tuturnya.

Ia mengatakan bahwa selama ini Polri terus berupaya meningkatkan kapabilitas institusi terutama dengan pemanfaatan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia.

"Misalnya, sekarang penyidik harus berijazah minimal S1 supaya mereka tahu bagaimana menerapkan cara-cara penegakan hukum yang profesional," ujarnya.

Krisna juga menegaskan bahwa pemahaman tentang HAM dan praktik anti penyiksaan yang sering diserukan oleh berbagai pihak, tidak akan ada artinya jika kapabilitas organisasi penegak hukum tidak dibangun dengan baik.

Pewarta: Yashinta Difa P.
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015