Pemerintahan terpilih tetap yang berkuasa. Pemerintah akan mundur, jika rakyat yang meminta."
Istanbul/Ankara (ANTARA News) - Sejumlah kalangan militer Turki pada Jumat (Sabtu WIB) mencoba mengambil alih kekuasaan, sementara itu Perdana Menteri Binali Yildirin menegaskan bahwa upaya kudeta terus akan digagalkan, seraya menjamin pemerintahan terpilih masih punya kewenangan yang sah.

Jika berhasil, kudeta terhadap Presiden Tayyip Erdogan, berkuasa di Turki sejak 2003, maka akan menjadi pemindahan kuasa terbesar negara Timur Tengah itu, hingga mengubah tatanan negara sekutu terpenting Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut, demikian laporan Reuters.

PM Yildirim mengatakan, pemerintahan terpilih masih tetap berwenang atas jabatannya.

Saat ini belum ada komentar langsung dari Presiden Recep Tayyip Erdogan. Namun, seorang sumber dari Kantor Kepresidenan Turki mengatakan, Presiden Erdogan dipastikan aman.

Akibat percobaan kudeta itu, bandara pun ditutup, akses Internet ke laman media sosial juga diputus. Bahkan, tentara ikut menyegel dua jembatan Bosphorus, Istanbul, yang salah satunya masih menyalakan lampu berwarna merah, putih, biru sebagai aksi solidaritas terhadap korban penabrakan truk di Nice, Prancis, pada Hari Bastille, Kamis malam (14/6) waktu setempat.

Televisi Pemerintah Turki (TRT) mengumumkan aturan jam malam di seluruh negeri.

Penyiar membacakan pernyataan sesuai perintah militer, menuduh bahwa pemerintah telah mengancam demokrasi dan aturan hukum sekuler negara itu.

Negara itu akan dijalankan oleh "dewan damai" yang akan menjamin keamanan warga, katanya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov berkomentar usai pertemuan di Moskow, dan keduanya berharap pihak terkait dapat menghindari kemungkinan pertumpahan darah.

Turki, negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan kekuatan militer besar kedua di Blok Barat, merupakan sekutu terpenting AS berperang melawan pegaris keras kelompok ISIS. Secara geografis, Turki berada di tengah Benua Eropa dan Asia.

Negara itu merupakan pendukung utama oposisi Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam perang warga di negara itu, dan menjadi negara tujuan yang menampung dua juta pengungsi Suriah.

Turki tengah menghadapi perang dengan kelompok pembelot Kurdi, juga sempat banyak diserang aksi penembakan dan bom tahun ini, termasuk insiden dua pekan lalu oleh pegaris keras ISIS di bandara utama Istanbul, menewaskan lebih dari 40 orang.

Seorang sumber pejabat senior Uni Eropa (UE) yang mengamati situasi itu berujar, "Aksi itu tampak seperti kudeta yang dikoordinasi badan penting militer, bukan hanya sejumlah kolonel, mereka telah menguasai bandara, juga stasiun televisi, bahkan tentara juga mengambil alih beberapa lokasi strategis di Istanbul."

Ia menimpali, "Melihat situasi di sana, cukup sulit membayangkan aksi itu akan berlangsung singkat. Operasi itu tak dilakukan oleh beberapa kolonel."

Acara santap malam antara duta besar Turki untuk ibukota Eropa bersama seorang diplomat Eropa sempat terganggu oleh bunyi pesan darurat dari telepon genggam para tamu.

"Aksi itu tentu bukan kudeta kecil. Dubes Turki tampak terkejut dan menanggapinya secara serius," kata seorang diplomat usai acara santap malam dibubarkan.

Ia menambahkan, "Namun, pagi ini terlihat upaya itu akan berdampak besar bagi Turki. Hal itu tidak datang dari tempat lain."

Dalam pernyataan via surat elektronik dan dilaporkan oleh sejumlah saluran televisi, militer menyatakan, pihaknya telah mengambil alih kekuasaan demi melindungi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Seluruh hubungan luar negeri Turki saat ini akan berjalan, dan penegakan hukum tetap jadi prioritas utama, demikian keterangan kelompok militer.

Adapun kantor berita Pemerintah Turki (Anadolu) melaporkan, kepala staf militer merupakan salah satu "tawanan" yang ditahan di ibukota Turki, Ankara.

Salah satu media jaringan internasional yang berpusat di AS, CNN Turki, turut melaporkan bahwa para tawanan tengah ditahan di markas militer.

Usai menjabat sebagai PM Turki dari 2003, Erdogan terpilih sebagai presiden pada 2014.

Ia berencana mengubah undang-undang demi memberi kekuasaan lebih pada pejabat eksekutif.

Partai pendukungnya, AK, berakar pada ideologi Islam, memiliki hubungan cukup tegang dengan militer dan partai nasionalis yang didirikan atas prinsip sekuler usai Perang Dunia I.

Militer sendiri memiliki catatan sejarah atas sejumlah aksi kudeta demi mempertahankan prinsip sekuler, tetapi pihaknya belum pernah langsung berkuasa sejak 1980.

Yildirim mengatakan, sebuah kelompok dalam militer telah berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah, dan pasukan keamanan telah dikerahkan demi "melakukan hal yang dibutuhkan."

"Sejumlah orang melakukan tindakan ilegal di luar rantai komando," ungkap Yildirim seperti disiarkan saluran televisi swasta.

Ia menimpali, "Pemerintahan terpilih tetap yang berkuasa. Pemerintah akan mundur, jika rakyat yang meminta."

Dalang di balik percobaan kudeta ini akan menerima ganjaran yang setimpal, demikian Yildirin.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016