Jakarta (ANTARA News) - Ratusan pengemudi Go-Jek yang berorasi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin sore punya berbagai harapan, salah satunya memperoleh penghasilan seperti dulu, sebelum sistem performa berlaku.

"Dulu yang namanya bonus itu no limit. Paling kecil Rp300 ribu. Sekarang, pegang uang Rp50 ribu per hari bersih saja sudah hebat," ujar Eka (bukan nama sebenarnya) kepada ANTARA News di depan Balai Kota Jakarta, Senin sore.

Eka mengatakan, sistem performa mensyaratkan ketentuan tertentu agar pengemudi bisa mendapatkan bonus. Setiap pengemudi wajib mencapai minimal performal 50 persen untuk pendapatkan poin yang bisa berbuah bonus.

"Harus performanya minimal 50 persen. Awalnya 70 persen diturunkan jadi 50 persen.

Bonus itu bonus pertama, 10 poin dapat Rp 20 ribu. 12 Poin dapat tambahan Rp 60 ribu. 14 Poin, tambah lagi Rp 60 ribu. Totalnya Rp 140 ribu," kata Eka.

Hal ini berbeda di masa lalu. Pengemudi yang mengantarkan penumpang dengan jarak di bawah 6 km mendapatkan satu poin. Di bawah 10 km, pengemudi berhak mendapatkan 1,5 poin. Namun, bila di atas 10 km maka poin bisa bertambah menjadi dua.

"Sebelum sistem performa berlaku, dapat poin pertama kan tetap Rp 20 ribu untuk 10 poin. Poin ke-12 (kedua) Rp 40 ribu. Totalnya Rp 100 ribu," tutur Eka.

Sementara itu, Iwan, pengemudi Go-Jek lainnya, mengatakan, sekalipun dulu bonusnya lebih sedikit, namun pengemudi bisa mendapatkan bonus tanpa batasan. Karena, tak ada ketentuan pemotongan poin atau penghasilan bila pengemudi mengabaikan pesanan.

"Kita dapat oder nih ya, lagi jalan, tiba-tiba order lain masuk, performa langsung turun. Makanya driver pada kesel. Yang tadinya semangat. Kecuali mereka hitungannya jelas," tutur Iwan dalam kesempatan yang sama.

"Nah dengan sistem performa, memang poin ke 12 dapat bonus Rp60 ribu, poin 16 dapat Rp60 ribu lagi, hanya kalau sistemnya mempersulit kami, lebih baik kembali ke awal," imbuh pria yang berdomisili di kawasan Jakarta Pusat itu.

Selain itu, sambung Iwan, pengemudi juga dirudung rugi bila penumpang membatalkan pesanan, yakni pemotongan penghasilan Rp3 ribu.

"Kalau enggak ngambil orderan, penghasilan kami dipotong Rp3 ribu. Padahal, kami perlu istirahat, perlu ibadah, kalau mau matiin order pada saat order masuk, langsung potong Rp3 ribu," tutur dia.

"Kerugian kami, kalau ada customer yang cancel, itu performa kami turun. Yang kami kejar itu performa-nya. Harus stabil per harinya. Hitungan bonus juga harian," imbuh Iwan.

Performa turun karena penumpang fiktif Eka berkisah, beberapa waktu lalu, dalam sehari bahkan pernah tertipu. Penumpang yang memesan ternyata fiktif. Hal ini berujung pengurangan performa sekaligus bonusnya dalam sehari.

"Waktu itu performa saya masih 60 persen. Saya menggunakan auto bit, saya cari puteran paling cepat, misalnya di Rasuna Said, tapi orderannya fiktif," tutur Eka.

"Pertama, saya telpon, atas nama Pak R, ternyata untung adiknya Mbak N. Saya telpon tiga kali enggak diangkat. Tiba-tiba ada bunyi di handphone, notifikasi bilang orderan dicancel. Langsung turun performa saya. Untuk pertama, masih enggak apa-apa, masih performanya 50 persen," sambung dia.

Hal serupa terjadi di pemesanan kedua. Waktu itu sang pemesan berada di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. "Orderan kedua dapat lagi dari Pak Y, daerah Blok M. Saya masih proses hubungin dia, ada bunyi, dicancel sama orangnya. Turun lagi performa saya, sekarang 47 persen," kata Eka.

Cerita yang sama kembali terjadi pada pemesanan ke tiga kalinya. Si pemesan tanpa terduga membatalkan pesanan, padahal Eka tengah berusaha menghunginya.

"Yang ketiga, langsung orderan di menara Kadin." Telepon yang anda hubungi salah". Saya tunggu sekitar 5 menit. Tau-tau dicancel. Nomornya salah kok bisa dicancel. Performa turun sampai 39 persen baru dikasih order yang benar. Kan saya jadi males," tutur Eka.

"Uang Rp 120 ribu itu sayang kalau hangus. Terakhir performa saya hanya 48 persen. Saya hanya dapat bonus Rp 20 ribu. Padahal untuk naikkin dari 48 persen ke 50 persen itu saya enggak duduk diam. Saya keliling. Saya sampai ke tempat-tempat ramai," sambung dia. Kendati telah melaporkan hal ini pada pihak PT Go-Jek Indonesia, namun mereka belum mendapatkan tanggapan apapun.

Sekalipun begitu, tak ada satupun dari mereka berniat pindah ke perusahaan ojek online lainnya.

"Kayaknya enggak. Saya dari Agustus, pas awal-awal Go-Jek dibuka. Saat kami harus antri dapetin jaket sama helm. Dari pagi sampai malam," kata dia. "Saya yakin, dengan kami datang ke Balai Kota, ada semacam bantuan dari pihak sini untuk bicara pada PT Go-Jek Indonesia," harap Iwan, penuh keyakinan.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016