Serang, (ANTARA News) - Letusan Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Senin malam, dua kali mengeluarkan semburan bola api disertai ledakan keras dari kawah bukit selatannya. Kepala Pos Pemantauan Anton Tripambudi di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, mengatakan, semburan bola api ke udara diperkirakan mencapai ketinggian 250 meter disertai dentuman keras akibat tingginya frekuensi letusan dan kegempaan Anak Krakatau. Ia mengatakan selama empat hari terakhir jumlah letusan dan kegempaan terus meningkat karena terjadi pembesaran lubang kawah baru yang berada di bukit selatan gunung. "Bola api itu sangat indah karena mirip kembang api apabila dilihat dari kejauhan, namun jika kita dekati sangat berbahaya dan bisa mematikan," kata Tripambudi. Pihaknya melarang pengunjung atau nelayan untuk mendekati kawasan Anak Gunung Krakatau. Pengunjung dan nelayan hanya diperbolehkan kejauhan dua sampai tiga kilo meter dari titik letusan gunung. Sampai saat ini Anak Krakatau masih dalam status siaga III yang ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung. "Apabila warga terkena bola api tentu akan mematikan karena suhunya bisa mencapai 1.500 derajat Celcius,"katanya. Menurut dia,semburan bola api Anak Krakatau tidak terjadi setiap hari karena frekuensi letusan dan kegempaan masih mengalami fluktuasi. Biasanya,tambah dia, apabila letusan dan kegempaan besar maka terjadi semburan bola api ke udara, setelah itu disertai suara ledakan keras dari gunung. "Ledakan keras Anak Krakatau itu bisa terdengar sekitar 50 kilometer,"katanya. Data Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau,di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, menunjukkan Senin pukul 00.00 sampai 18.00 WIB terdapat kegempaan 1.008 kali, yakni vulkanik A (Dalam) sebanyak 33 kali, vulkanik B (Dangkal) 57 kali, letusan 161 kali, tremor 18 kali dan hembusan sebanyak 739 kali. "Hari (Senin) letusan dan kegempaan Anak Krakatau meningkat dibandingkan Minggu (4/5) hanya 932 kali kegempaan," ujar Anton Tripambudi.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008